Debitur Bank seringkali “meng-halal-kan”
segala cara untuk menghalangi pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia,
menunda pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia, hingga melakukan
perlawanan terhadap pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia.
Berangkat dari pemahaman bahwa Indonesia
adalah negara hukum, hal mana
menurut John Locke kegunaan negara hukum
adalah untuk mempertahankan hak-hak alamiah
yang berupa hak hidup, hak atas kebebasan dan hak milik yang telah
ada pada situasi status naturalis (suatu
kondisi sebelum terbentuk pemerintah). Selanjutnya John Locke
menyatakan : “Hukum alam berlaku sebagai aturan abadi bagi semua
orang, legislator, maupun pihak lain”. Kehidupan bernegara tersebut
diatur oleh hukum. Dari uraian pendapat John Locke tersebut dapat
disumpulkan tujuan negara hukum adalah memelihara/melindungi hak-hak
alamiah yang telah ada pada masa status
naturalis (Peter Mahmud Marzuki, 2009 : 118).
Seperti pisau bermata dua, perlindungan hukum
dalam bisnis perbankan sangat dilematis. Keadaan tersebut yaitu
kedudukan hukum yang harus melindungi dua kepentingan yang berbeda.
Sesuai dengan ungkapan klasik, “quot
homines, tot sententiae” (sebanyak
jumlah manusia, itulah banyak pengertian). Ungkapan klasik ini
merupakan gambaran manusia yang memiliki penafsiran hukum sesuai
dengan kepentingan masing-masing.
Setiap orang akan memiliki argumentasi untuk
mempertahankan eksistensi masing-masing. Dalam bisnis perbankan,
seringkali pelaksanaan eksekusi dinilai sewenang-wenang oleh debitur,
sedangkan Bank memberikan anggapan bahwa pelaksanaan eksekusi telah
sesuai dengan hukum yang berlaku. Pelaksanaan eksekusi jaminan
fidusia selalu menjadi suatu perdebatan. Sama halnya dengan yang
terjadi pada seorang nasabah, warga Batam, yang melaporkan salah satu Bank Perkreditan Rakyat di Kota Batam ke
Polresta Barelang dengan nomor laporan : LP-B/1180/XI/2011 tanggal 18
Nopember 2011. Wandi melaporkan BPR Dana Nagoya atas dugaan tindak
pidana pencurian. Laporan tersebut dibuat karena nasabah tersebut tidak
mendapatkan informasi yang jelas atas pennarikan satu uni mobil Honda
Accord BP 1814 DX oleh Bank Perkreditan Rakyat tersebut (sumber : m.batamtoday.com). Laporan tersebut diatas didasari atas dugaan tindak pidana pencurian
yang dilakukan oleh petugas Bank Perkreditan Rakyat. Pelaporan demikian
memberikan indikasi bagi masyarakat bahwa pelaksanaan eksekusi
jaminan fidusia dilawan dengan laporan ke kepolisian.
Namun pelaporan demikian seyogyanya telah diatur dalam suatu surat
edaran yang dikeluarkan institusi Kepolisian Republik Indonesia,
yakni Surat Edaran Kepala Badan Reserse Kriminal nomor :
B/2110/VIII/2009/ tertanggal 31 Agustus 2009 ditandatangani oleh
Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia,
Komisaris Jendral Susno Adji, tentang Prosedur Penanganan Kasus
Perlindungan Konsumen (untuk selanjutnya disebur Surat Edaran
Kabareskrim). Dalam surat edaran yang disosialisasikan oleh Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, Komite Nasional
Perlundungan Konsumen dan Pelaku Usaha Indonesia (LPKSM PK-PU
Indonesia) dimuat 2 (dua) pokok pembahasan yang harus diikuti oleh
penyidik Kepolisian Republik Indonesia di seluruh Indonesia, yakni:
-
Pelaporan yang dilakukan oleh debitur atas ditariknya unit jaminan oleh lembaga finance ketika debitur wanprestasi, tidak boleh diproses oleh penyidik Kepolisian Republik Indonesia dengan pasal-pasal pencurian, perampasan dan lain sebagainya;
-
Pelaporan yang dilakukan oleh lembaga finance ketika mengetahui debitur melakukan pengalihan unit jaminan, tidak boleh diproses oleh penyidik Kepolisian Republik Indonesia dengan pasal-pasal penggelapan dan lain sebagaimnya;
Surat Kabareskrim tersebut mempertimbangkan pasal-pasal dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen. Oleh karena itu, pelaporan atas kedua
perbuatan hukum yang dimuat dalam surat Kabareskrim harus ditolak dan
diselesaikan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Berdasarkan Surat Edaran Kabareskrim tersebut, segala permasalahan
yang timbul akibat pelaksanaan eksekusi obyek jaminan fidusia adalah
melalui pelaporan ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Hanya saja, setelah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan, segala pengaduan konsumen yang dirugikan oleh
pelaku usaha di sektor jasa keuangan bukan merupakan kewenangan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (selanjut disingkat
OJK) harus memberikan pelayanan dengan membuat mekanisme pengaduan
konsumen yang dirugikan oleh pelaku di lembaga jasa keuangan,
termasuk Bank. OJK juga berwenang untuk memberikan perlindungan
konsumen dan masyarakat dengan memerintahkan/ melakukan tindakan
tertentu kepada lembaga jasa keuangan untuk menyelesaikan pengaduan
konsumen yang dirugikan oleh lembaga jasa keuangan yang dimaksud.
Bahkan OJK berhak mengajukan gugatan untuk memperloeh kembali harta
kekayaan milik pihak yang dirugikan dari pihak yang menyebabkan
kerugian, baik yang berada di bawah penguasaan pihak yang menyebabkan
kerugian yang dimaksud maupun pihak lain dengan ititkad tidak baik.
Selain untuk memperoleh kembali harta, OJK juga berhak untuk
memperoleh ganti kerugian dari pihak yang menyebabkan kerugian pada
konsumen sebagai akibat dari pelanggaran peraturan yang telah
ditetapkan. Satu dan lain, kewenangan tersebut diatur dalam Pasal 30
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Oleh karena itu, segala pelaporan debitur Bank mengenai pelaksanaan
eksekusi jaminan fidusia pada institusi Kepolisian Indonesia (Polri)
adalah suatu tindakan yang keliru dan bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Sumber / Referensi :
Peter Mahmad Marzuki, Pengantar
Ilmu Hukum, Edisi Pertama, Cetakan
Ketiga, (Jakarta : Kencana, 2009), hlm. 118.
m.batamtoday.com/detail2.php?id=10280 diunduh
tanggal 17 Juni 2015 pukul 16:15 WIB.
Note : Artikel ini disadur dari Buku Masalah Terkait Kredit Perbankan karangan Febri Jaya, yang telah diterbitkan melalui Penerbit Garudhawaca dengan ISBN : 978-602-7949-85-0.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar