Kamis, 29 September 2016

Perlawanan Terhadap Eksekusi Jaminan Fidusia Melalui Laporan Ke Pihak Kepolisian

Debitur Bank seringkali “meng-halal-kan” segala cara untuk menghalangi pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia, menunda pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia, hingga melakukan perlawanan terhadap pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia.

Berangkat dari pemahaman bahwa Indonesia adalah negara hukum, hal mana menurut John Locke kegunaan negara hukum adalah untuk mempertahankan hak-hak alamiah yang berupa hak hidup, hak atas kebebasan dan hak milik yang telah ada pada situasi status naturalis (suatu kondisi sebelum terbentuk pemerintah). Selanjutnya John Locke menyatakan : “Hukum alam berlaku sebagai aturan abadi bagi semua orang, legislator, maupun pihak lain”. Kehidupan bernegara tersebut diatur oleh hukum. Dari uraian pendapat John Locke tersebut dapat disumpulkan tujuan negara hukum adalah memelihara/melindungi hak-hak alamiah yang telah ada pada masa status naturalis (Peter Mahmud Marzuki, 2009 : 118).

Seperti pisau bermata dua, perlindungan hukum dalam bisnis perbankan sangat dilematis. Keadaan tersebut yaitu kedudukan hukum yang harus melindungi dua kepentingan yang berbeda. Sesuai dengan ungkapan klasik, “quot homines, tot sententiae” (sebanyak jumlah manusia, itulah banyak pengertian). Ungkapan klasik ini merupakan gambaran manusia yang memiliki penafsiran hukum sesuai dengan kepentingan masing-masing.

Setiap orang akan memiliki argumentasi untuk mempertahankan eksistensi masing-masing. Dalam bisnis perbankan, seringkali pelaksanaan eksekusi dinilai sewenang-wenang oleh debitur, sedangkan Bank memberikan anggapan bahwa pelaksanaan eksekusi telah sesuai dengan hukum yang berlaku. Pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia selalu menjadi suatu perdebatan. Sama halnya dengan yang terjadi pada seorang nasabah, warga Batam, yang melaporkan salah satu Bank Perkreditan Rakyat di Kota Batam ke Polresta Barelang dengan nomor laporan : LP-B/1180/XI/2011 tanggal 18 Nopember 2011. Wandi melaporkan BPR Dana Nagoya atas dugaan tindak pidana pencurian. Laporan tersebut dibuat karena nasabah tersebut tidak mendapatkan informasi yang jelas atas pennarikan satu uni mobil Honda Accord BP 1814 DX oleh Bank Perkreditan Rakyat tersebut (sumber : m.batamtoday.com). Laporan tersebut diatas didasari atas dugaan tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh petugas Bank Perkreditan Rakyat. Pelaporan demikian memberikan indikasi bagi masyarakat bahwa pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia dilawan dengan laporan ke kepolisian.

Namun pelaporan demikian seyogyanya telah diatur dalam suatu surat edaran yang dikeluarkan institusi Kepolisian Republik Indonesia, yakni Surat Edaran Kepala Badan Reserse Kriminal nomor : B/2110/VIII/2009/ tertanggal 31 Agustus 2009 ditandatangani oleh Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia, Komisaris Jendral Susno Adji, tentang Prosedur Penanganan Kasus Perlindungan Konsumen (untuk selanjutnya disebur Surat Edaran Kabareskrim). Dalam surat edaran yang disosialisasikan oleh Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, Komite Nasional Perlundungan Konsumen dan Pelaku Usaha Indonesia (LPKSM PK-PU Indonesia) dimuat 2 (dua) pokok pembahasan yang harus diikuti oleh penyidik Kepolisian Republik Indonesia di seluruh Indonesia, yakni:
  1. Pelaporan yang dilakukan oleh debitur atas ditariknya unit jaminan oleh lembaga finance ketika debitur wanprestasi, tidak boleh diproses oleh penyidik Kepolisian Republik Indonesia dengan pasal-pasal pencurian, perampasan dan lain sebagainya;
  2. Pelaporan yang dilakukan oleh lembaga finance ketika mengetahui debitur melakukan pengalihan unit jaminan, tidak boleh diproses oleh penyidik Kepolisian Republik Indonesia dengan pasal-pasal penggelapan dan lain sebagaimnya;

Surat Kabareskrim tersebut mempertimbangkan pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Oleh karena itu, pelaporan atas kedua perbuatan hukum yang dimuat dalam surat Kabareskrim harus ditolak dan diselesaikan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

Berdasarkan Surat Edaran Kabareskrim tersebut, segala permasalahan yang timbul akibat pelaksanaan eksekusi obyek jaminan fidusia adalah melalui pelaporan ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Hanya saja, setelah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, segala pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku usaha di sektor jasa keuangan bukan merupakan kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

Berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (selanjut disingkat OJK) harus memberikan pelayanan dengan membuat mekanisme pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku di lembaga jasa keuangan, termasuk Bank. OJK juga berwenang untuk memberikan perlindungan konsumen dan masyarakat dengan memerintahkan/ melakukan tindakan tertentu kepada lembaga jasa keuangan untuk menyelesaikan pengaduan konsumen yang dirugikan oleh lembaga jasa keuangan yang dimaksud.

Bahkan OJK berhak mengajukan gugatan untuk memperloeh kembali harta kekayaan milik pihak yang dirugikan dari pihak yang menyebabkan kerugian, baik yang berada di bawah penguasaan pihak yang menyebabkan kerugian yang dimaksud maupun pihak lain dengan ititkad tidak baik. Selain untuk memperoleh kembali harta, OJK juga berhak untuk memperoleh ganti kerugian dari pihak yang menyebabkan kerugian pada konsumen sebagai akibat dari pelanggaran peraturan yang telah ditetapkan. Satu dan lain, kewenangan tersebut diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Oleh karena itu, segala pelaporan debitur Bank mengenai pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia pada institusi Kepolisian Indonesia (Polri) adalah suatu tindakan yang keliru dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sumber / Referensi :
Peter Mahmad Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Edisi Pertama, Cetakan Ketiga, (Jakarta : Kencana, 2009), hlm. 118.
m.batamtoday.com/detail2.php?id=10280 diunduh tanggal 17 Juni 2015 pukul 16:15 WIB.

Note : Artikel ini disadur dari Buku Masalah Terkait Kredit Perbankan karangan Febri Jaya, yang telah diterbitkan melalui Penerbit Garudhawaca dengan ISBN : 978-602-7949-85-0.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar