Kejahatan seksual terhadap anak menjadi salah satu fenomena sosial yang marak terjadi di Indonesia. Hal ini menyebabkan pemerintah kembali dituntut agar merumuskan regulasi guna meredam fenomena kejahatan seksual terhadap anak. Para aktivis perlindungan anak mendorong agar diberlakukan hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Desakan pembentukan regulasi terkait hukuman kebiri seolah-olah merupakan hukuman yang penuh kebencian yang ditujukan kepada para pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
Pembahasan mengenai hukuman kebiri seyogyanya mengacu pada hukum nasional yang berlaku di Indonesia. Adapun pengaturan mengenai hukuman di Indonesia secara umum diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yakni : 1) pidana mati, 2) pidana penjara, 3) pidana kurungan, 4) pidana denda, dan 5) pidana tutupan. Adapun ketentuan khusus mengenai perlindungan anak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak juga mengacu pada pidana pokok yang diatur dalam Pasal 10 KUHP.
Pertanyaan yang timbul dari wacana pemberlakuan hukuman kebiri adalah “Apakah hukuman kebiri dapat diberlakukan di Indonesia?”.
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut diatas, Penulis menganggap perlu mengingatkan kepada pihak-pihak yang mendorong hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual bagi anak bahwa Indonesia hingga hari ini masih menganut asas legalitas. Dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP menyebutkan : “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”. Dalam bahasa hukum populer, asas tersebut dikenal dengan sebutan : nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali.
Mengingat asas legalitas tersebut diatas, pemerintah bergerak cepat untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan dengan mendorong Presiden untuk membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
Namun inisiatif tersebut barang tentu menjadi perdebatan dalam berbagai kalangan. Salah satu masalah yakni pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusi di Indonesia. Konstitusi negara Indonesia jelas memberikan perlindungan HAM bagi seluruh warga Negara. Lantas, apakah pelaku kejahatan seksual bagi anak bukan warga Negara yang harus dilindungi oleh Negara?
Atas desakan tersebut, Presiden Joko Widodo, telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak (Perppu 1/2016). Penerbitan Perppu 1/2016 bukanlah tanpa hambatan, hingga Perppu ini ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo, masih banyak pendapat-pendapat yang tidak sepakat atas materi hukuman kebiri dalam Perppu tersebut.
Salah satu kendala memberlakukan hukuman kebiri adalah potensi upaya judicial review terhadap peraturan perundang-undangan terkait hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Mahkamah Konstitusi akan menjadi gerbang awal pemberlakuan hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
Mengingat peraturan perundang-undangan mengenai hukuman kebiri yang telah dirumuskan oleh pemerintah berpotensi dianulir oleh Mahkamah Konstitusi, selayaknya pemerintah lebih cermat dan cerdas merumuskan solusi terhadap fenomena kejahatan seksual terhadap anak. Penegasan-penegasan terhadap regulasi yang telah ada seyogyanya dapat meredam fenomena kejahatan seksual bagi para pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Sebagai contoh : pemerintah seharusnya lebih tegas menindak tayangan-tayangan di televisi yang mengajarkan masyarakat untuk berbuat tidak wajar (tidak senonoh) hingga lebih serius menindak situs-situs porno yang beredar di internet.
Penulis cenderung mendorong pemerintah untuk mecegah kejahatan seksual terhadap anak melalui tindakan-tindakan nyata yang telah ada. Hal ini mengingat sanksi sosial yang diterima oleh pelaku kejahatan seksual terhadap anak yang sudah menjadi hukuman tambahan. Selanjutnya, siapakah yang berani menjamin pelaku kejahatan seksual terhadap anak tidak mengalami pelecehan seksual yang lebih kejam? Sudah menjadi rahasia umum bahwa lembaga permasyarakatan adalah tempat pemberian hukuman kedua pasca terdakwa dihukum melalui putusan pengadilan. Adapun hukuman kedua yang dimaksud berupa penyiksaan bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak yang tidak diatur dalam tidak diatur dalam hukum positif Indonesia.
Memang ironis, namun ini yang harus disadari oleh aktivis-aktivis perlindungan anak untuk mendorong pembentukan hukum perlindungan anak yang lebih efektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar