Kamis, 29 September 2016

Pengambilan Obyek Jaminan Bank Oleh Suami atau Isteri Debitur

 Bank seringkali menetapkan peraturan bahwa pengambilan obyek jaminan harus dilakukan oleh debitur yang secara administratif terdaftar pada pembukuan Bank. Bahkan pengambilan obyek jaminan yang dilakukan oleh suami atau isteri harus dilengkapi dengan surat kuasa notariil maupun surat kuasa bawah tangan yang dilegalisasi oleh Notaris.

Dinamika hukum dalam perkembangan ekonomi seringkali lebih mengutamakan kebiasaan. Aspek hukum yang menjadi dasar perbuataan hukum tersebut diabaikan oleh suatu kebiasaan. Hal yang tidak dapat dipungkiri dari keadaan tersebut adalah pemahaman yang salah mengenai “kebiasaan” sebagai sumber hukum di Republik Indonesia.

Secara teoritis, kebiasaan merupakan salah satu dari sumber hukum formil di Indonesia. Adapun sumber hukum formil di Indonesia adalah Undang-Undang (statute), kebiasaan (custom), putusan hakim (jurisprudentie), traktat, dan pendapat para sarjana hukum (doktrin). Dari kelima sumber hukum tersebut, kebiasaan merupakan sumber hukum formil yang paling menarik untuk dibahas. Hal ini cenderung dikarenakan ambigusitis kata kebiasaan pada sumber hukum formil tersebut.

Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang tetap dan dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama. Sesuai dengan Pasal 15 Algamene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia, kebiasaan adalah bukan hukum apabila undang-undang tidak menunjuknya. Selain itu, salah satu pasal dalam peraturan perundang-undang Indonesia yang menyatkaan kebiasaan sebagai dasar hukum adalah Pasal 1339 Burgerlijk Wetboek yang berbunyi sebagai berikut :
Persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikat untuk apa yang telah ditetapkan dengan tegas oleh persetujuan-persetujuan itu, tetapi juga untuk segala sesuatu menurut sifat persetujuan-persetujuan itu diwajibkan oleh kebiasaan

Pasal 1339 Burgerlijk Wetboek secara lugas menyatakan bahwa apabila persetujuan-persetujuan yang telah dibuat oleh para pihak tidak menentukan lain, maka kekosongan hukum (hal-hal yang tidak diatur dalam persetujuan) dapat diselesaikan berdasarkan kebiasaan yang ada.

Penulis menyimpulkan dari kedua pasal yang diuraikan tersebut diatas, kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus tidak dapat serta menjadi hukum. Kebiasaan hanya menjadi suatu pelengkap saat terjadi kekosongan hukum. Apabila mengenai kebiasaan tersebut telah terdapat hukum yang mengatur berbeda, maka kebiasaan tersebut tidak dapat dijadikan acuan dalam melakukan perbuatan hukum.

Dalam kebiasaan praktek perbankan, pengambilan obyek jaminan hanya dapat dilakukan oleh debitur yang tercatat pada sistem pembukuan perbankan. Apakah dasar hukum atas kewajiban bank tersebut? Apakah suami atau isteri debitur tidak memiliki hak untuk melakukan pengambilan obyek jaminan pada Bank? Apakah tindakan Bank yang tidak memperbolehkan suami atau isteri mengambil obyek jaminan dapat dibenarkan?

Analisa mengenai hak suami atau isteri untuk melakukan pengambilan obyek jaminan pada Bank harus diawali pada status obyek jaminan. Apakah obyek jaminan di Bank merupakan harta bawaan suami atau isteri? Apabila obyek jaminan di Bank merupakan harta bawaan suami atau isteri, maka suami atau isteri debitur tidak memiliki hak atas obyek jaminan pada Bank. Sedangkan obyek jaminan yang merupakan harta bersama suami atau isteri, maka suami atau isteri memiliki hak atas obyek jaminan pada Bank.

Apabila obyek jaminan di Bank merupakan harta bersama suami atau isteri debitur, maka suami atau isteri memiliki sebagian hak pada obyek jaminan di Bank. Sehingga secara hukum, suami atau isteri dapat melakukan pengambilan obyek jaminan di Bank. Terlebih pada saat pendantangan perjanjian kredit, suami atau isteri turut hadir untuk memberikan persetujuan. Dalam praktek perbankan, Bank bahkan meminta Debitur memberikan surat kuasa notariil kepada suami atau isteri untuk melakukan pengambilan obyek jaminan di Bank. Perspektif hukum dalam permintaan pembuatan surat kuasa notariil tersebut tentu sangat lucu. Karena suami atau isteri harus mendapatkan kuasa untuk mengambil barangnya sendiri di Bank. Namun Bank seringkali mencoba memberikan penjelasan atas dasar prinsip kehati-hatian Bank. Apabila Bank memahami prinsip kehati-hatian secara menyeluruh, maka Bank seharus menyadari bahwa permintaan persetujuan suami atau isteri sudah cukup untuk melaksanakan prinsip tesebut.

Perdebatan mengenai hak suami atau isteri debitur mengambil obyek jaminan di Bank adalah pada debitur yang mengadakan pernikahan saat jangka waktu kredit berlangsung. Dalam hal ini suami atau isteri debitur tidak ikut menandatangani perjanjian kredit di Bank. Keraguan Bank atas kedudukan suami atau isteri sangat wajar pada kasus ini. Oleh karena itu, Bank dapat meminta kepada suami atau isteri yang datang menghadap Bank untuk melengkapi dokumen-dokumen yang diperlukan. Adapun dokumen yang dapat membuktikan hubungan debitur tersebut dapat berupa Akta Perkawinan yang dicatatatkan di Kantor Catatan Sipil dan Kependudukan setempat. Pembuktian mengenai kedudukan perkawinan antara debitur dan suami atau isteri dapat memberikan hak kepada suami atau isteri untuk mengambil obyek jaminan di Bank. Oleh karena itu, segala bentuk kuasa dari debitur seharusnya tidak perlu untuk dimintkan kepada suami atau isteri.

Pengambilan obyek jaminan oleh suami atau isteri debitur yang harus melengkapi surat kuasa notariil merupakan hal yang rancu dalam pelaksanaan perbuatan hukum dewasa ini. Namun hal tersebut selalu disyaratkan Bank sebagai landasan dalam melaksanakan kedudukannya sebagai kreditor. Hal inilah yang menjadi kebiasaan Bank dalam melaksanakan dinamika perekonomian sehari-hari.

Pembuatan kuasa untuk melakukan pengambilan obyek jaminan di Bank oleh debitur kepada suami atau isteri merupakan salah satu dari sekian banyak bentuk logika yang salah diterapkan dalam praktek hukum. Pada dasarnya, kuasa itu harus dibuat kepada orang lain yang tidak memiliki hak atas obyek jaminan di Bank.

Kebiasaan..
Telah menjadi alasan Bank dalam mendukung kesesatan pemikiran logika formalistik. Pemberitahuan mengenai kedudukan suami atau isteri dengan akta otentik, menurut hemat Penulis sudah cukup sebagai landasan Bank untuk memberikan obyek jaminan kepada suami atau isteri debitur. Apakah Bank bisa menahan dan tidak memberikan obyek kepada suami atau isteri dalam kasus demikian? Dalam hal kredit debitur telah dilunasi, Bank memiliki kewajiban untuk segera mengembalikan obyek jaminan kepada debitur.

Oleh karena itu, suami atau isteri yang mendapatkan penolakan dalam melakukan pengambilan obyek jaminan dapat memohon kepada Bank melalui suatu surat permohonan tertulis dan meminta Bank untuk menjawab surat permohonan tersebut secara tertulis. Sehingga suami atau isteri tersebut dapat melakukan tindakan hukum atas penolakan yang dilakukan oleh Bank. Hal ini mengingat, bahwa Bank telah menghalangi suami atau isteri dalam menikmati dan mengolah harta bendanya. Hal demikian yang dilakukan oleh Bank merupakan salah satu celah tuntutan hukum yang dapat diminta oleh suami atau isteri.

Note : Artikel ini disadur dari Buku Masalah Terkait Kredit Perbankan karangan Febri Jaya, yang diterbitkan melalui Penerbit Garudhawaca dengan ISBN : 978-602-7949-85-0.

Perlawanan Terhadap Eksekusi Jaminan Fidusia Melalui Laporan Ke Pihak Kepolisian

Debitur Bank seringkali “meng-halal-kan” segala cara untuk menghalangi pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia, menunda pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia, hingga melakukan perlawanan terhadap pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia.

Berangkat dari pemahaman bahwa Indonesia adalah negara hukum, hal mana menurut John Locke kegunaan negara hukum adalah untuk mempertahankan hak-hak alamiah yang berupa hak hidup, hak atas kebebasan dan hak milik yang telah ada pada situasi status naturalis (suatu kondisi sebelum terbentuk pemerintah). Selanjutnya John Locke menyatakan : “Hukum alam berlaku sebagai aturan abadi bagi semua orang, legislator, maupun pihak lain”. Kehidupan bernegara tersebut diatur oleh hukum. Dari uraian pendapat John Locke tersebut dapat disumpulkan tujuan negara hukum adalah memelihara/melindungi hak-hak alamiah yang telah ada pada masa status naturalis (Peter Mahmud Marzuki, 2009 : 118).

Seperti pisau bermata dua, perlindungan hukum dalam bisnis perbankan sangat dilematis. Keadaan tersebut yaitu kedudukan hukum yang harus melindungi dua kepentingan yang berbeda. Sesuai dengan ungkapan klasik, “quot homines, tot sententiae” (sebanyak jumlah manusia, itulah banyak pengertian). Ungkapan klasik ini merupakan gambaran manusia yang memiliki penafsiran hukum sesuai dengan kepentingan masing-masing.

Setiap orang akan memiliki argumentasi untuk mempertahankan eksistensi masing-masing. Dalam bisnis perbankan, seringkali pelaksanaan eksekusi dinilai sewenang-wenang oleh debitur, sedangkan Bank memberikan anggapan bahwa pelaksanaan eksekusi telah sesuai dengan hukum yang berlaku. Pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia selalu menjadi suatu perdebatan. Sama halnya dengan yang terjadi pada seorang nasabah, warga Batam, yang melaporkan salah satu Bank Perkreditan Rakyat di Kota Batam ke Polresta Barelang dengan nomor laporan : LP-B/1180/XI/2011 tanggal 18 Nopember 2011. Wandi melaporkan BPR Dana Nagoya atas dugaan tindak pidana pencurian. Laporan tersebut dibuat karena nasabah tersebut tidak mendapatkan informasi yang jelas atas pennarikan satu uni mobil Honda Accord BP 1814 DX oleh Bank Perkreditan Rakyat tersebut (sumber : m.batamtoday.com). Laporan tersebut diatas didasari atas dugaan tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh petugas Bank Perkreditan Rakyat. Pelaporan demikian memberikan indikasi bagi masyarakat bahwa pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia dilawan dengan laporan ke kepolisian.

Namun pelaporan demikian seyogyanya telah diatur dalam suatu surat edaran yang dikeluarkan institusi Kepolisian Republik Indonesia, yakni Surat Edaran Kepala Badan Reserse Kriminal nomor : B/2110/VIII/2009/ tertanggal 31 Agustus 2009 ditandatangani oleh Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia, Komisaris Jendral Susno Adji, tentang Prosedur Penanganan Kasus Perlindungan Konsumen (untuk selanjutnya disebur Surat Edaran Kabareskrim). Dalam surat edaran yang disosialisasikan oleh Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, Komite Nasional Perlundungan Konsumen dan Pelaku Usaha Indonesia (LPKSM PK-PU Indonesia) dimuat 2 (dua) pokok pembahasan yang harus diikuti oleh penyidik Kepolisian Republik Indonesia di seluruh Indonesia, yakni:
  1. Pelaporan yang dilakukan oleh debitur atas ditariknya unit jaminan oleh lembaga finance ketika debitur wanprestasi, tidak boleh diproses oleh penyidik Kepolisian Republik Indonesia dengan pasal-pasal pencurian, perampasan dan lain sebagainya;
  2. Pelaporan yang dilakukan oleh lembaga finance ketika mengetahui debitur melakukan pengalihan unit jaminan, tidak boleh diproses oleh penyidik Kepolisian Republik Indonesia dengan pasal-pasal penggelapan dan lain sebagaimnya;

Surat Kabareskrim tersebut mempertimbangkan pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Oleh karena itu, pelaporan atas kedua perbuatan hukum yang dimuat dalam surat Kabareskrim harus ditolak dan diselesaikan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

Berdasarkan Surat Edaran Kabareskrim tersebut, segala permasalahan yang timbul akibat pelaksanaan eksekusi obyek jaminan fidusia adalah melalui pelaporan ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Hanya saja, setelah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, segala pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku usaha di sektor jasa keuangan bukan merupakan kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

Berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (selanjut disingkat OJK) harus memberikan pelayanan dengan membuat mekanisme pengaduan konsumen yang dirugikan oleh pelaku di lembaga jasa keuangan, termasuk Bank. OJK juga berwenang untuk memberikan perlindungan konsumen dan masyarakat dengan memerintahkan/ melakukan tindakan tertentu kepada lembaga jasa keuangan untuk menyelesaikan pengaduan konsumen yang dirugikan oleh lembaga jasa keuangan yang dimaksud.

Bahkan OJK berhak mengajukan gugatan untuk memperloeh kembali harta kekayaan milik pihak yang dirugikan dari pihak yang menyebabkan kerugian, baik yang berada di bawah penguasaan pihak yang menyebabkan kerugian yang dimaksud maupun pihak lain dengan ititkad tidak baik. Selain untuk memperoleh kembali harta, OJK juga berhak untuk memperoleh ganti kerugian dari pihak yang menyebabkan kerugian pada konsumen sebagai akibat dari pelanggaran peraturan yang telah ditetapkan. Satu dan lain, kewenangan tersebut diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Oleh karena itu, segala pelaporan debitur Bank mengenai pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia pada institusi Kepolisian Indonesia (Polri) adalah suatu tindakan yang keliru dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sumber / Referensi :
Peter Mahmad Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Edisi Pertama, Cetakan Ketiga, (Jakarta : Kencana, 2009), hlm. 118.
m.batamtoday.com/detail2.php?id=10280 diunduh tanggal 17 Juni 2015 pukul 16:15 WIB.

Note : Artikel ini disadur dari Buku Masalah Terkait Kredit Perbankan karangan Febri Jaya, yang telah diterbitkan melalui Penerbit Garudhawaca dengan ISBN : 978-602-7949-85-0.

Senin, 26 September 2016

Hukuman Kebiri Dalam Perspektif Hukum Positif Indonesia

Kejahatan seksual terhadap anak menjadi salah satu fenomena sosial yang marak terjadi di Indonesia. Hal ini menyebabkan pemerintah kembali dituntut agar merumuskan regulasi guna meredam fenomena kejahatan seksual terhadap anak. Para aktivis perlindungan anak mendorong agar diberlakukan hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Desakan pembentukan regulasi terkait hukuman kebiri seolah-olah merupakan hukuman yang penuh kebencian yang ditujukan kepada para pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
Pembahasan mengenai hukuman kebiri seyogyanya mengacu pada hukum nasional yang berlaku di Indonesia. Adapun pengaturan mengenai hukuman di Indonesia secara umum diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yakni : 1) pidana mati, 2) pidana penjara, 3) pidana kurungan, 4) pidana denda, dan 5) pidana tutupan. Adapun ketentuan khusus mengenai perlindungan anak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak juga mengacu pada pidana pokok yang diatur dalam Pasal 10 KUHP.

Pertanyaan yang timbul dari wacana pemberlakuan hukuman kebiri adalah “Apakah hukuman kebiri dapat diberlakukan di Indonesia?”.

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut diatas, Penulis menganggap perlu mengingatkan kepada pihak-pihak yang mendorong hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual bagi anak bahwa Indonesia hingga hari ini masih menganut asas legalitas. Dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP menyebutkan : “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”. Dalam bahasa hukum populer, asas tersebut dikenal dengan sebutan : nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali.

Mengingat asas legalitas tersebut diatas, pemerintah bergerak cepat untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan dengan mendorong Presiden untuk membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.  
Namun inisiatif tersebut barang tentu menjadi perdebatan dalam berbagai kalangan. Salah satu masalah yakni pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusi di Indonesia. Konstitusi negara Indonesia jelas memberikan perlindungan HAM bagi seluruh warga Negara. Lantas, apakah pelaku kejahatan seksual bagi anak bukan warga Negara yang harus dilindungi oleh Negara?
Atas desakan tersebut, Presiden Joko Widodo, telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Perppu 1/2016). Penerbitan Perppu 1/2016 bukanlah tanpa hambatan, hingga Perppu ini ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo, masih banyak pendapat-pendapat yang tidak sepakat atas materi hukuman kebiri dalam Perppu tersebut.

Salah satu kendala memberlakukan hukuman kebiri adalah potensi upaya judicial review terhadap peraturan perundang-undangan terkait hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Mahkamah Konstitusi akan menjadi gerbang awal pemberlakuan hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.

Mengingat peraturan perundang-undangan mengenai hukuman kebiri yang telah dirumuskan oleh pemerintah berpotensi dianulir oleh Mahkamah Konstitusi, selayaknya pemerintah lebih cermat dan cerdas merumuskan solusi terhadap fenomena kejahatan seksual terhadap anak. Penegasan-penegasan terhadap regulasi yang telah ada seyogyanya dapat meredam fenomena kejahatan seksual bagi para pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Sebagai contoh : pemerintah seharusnya lebih tegas menindak tayangan-tayangan di televisi yang mengajarkan masyarakat untuk berbuat tidak wajar (tidak senonoh) hingga lebih serius menindak situs-situs porno yang beredar di internet.

Penulis cenderung mendorong pemerintah untuk mecegah kejahatan seksual terhadap anak melalui tindakan-tindakan nyata yang telah ada. Hal ini mengingat sanksi sosial yang diterima oleh pelaku kejahatan seksual terhadap anak yang sudah menjadi hukuman tambahan. Selanjutnya, siapakah yang berani menjamin pelaku kejahatan seksual terhadap anak tidak mengalami pelecehan seksual yang lebih kejam? Sudah menjadi rahasia umum bahwa lembaga permasyarakatan adalah tempat pemberian hukuman kedua pasca terdakwa dihukum melalui putusan pengadilan. Adapun hukuman kedua yang dimaksud berupa penyiksaan bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak yang tidak diatur dalam tidak diatur dalam hukum positif Indonesia.    

Memang ironis, namun ini yang harus disadari oleh aktivis-aktivis perlindungan anak untuk mendorong pembentukan hukum perlindungan anak yang lebih efektif.