Bank seringkali menetapkan peraturan bahwa pengambilan obyek jaminan
harus dilakukan oleh debitur yang secara administratif terdaftar pada
pembukuan Bank. Bahkan pengambilan obyek jaminan yang dilakukan oleh
suami atau isteri harus dilengkapi dengan surat kuasa notariil maupun
surat kuasa bawah tangan yang dilegalisasi oleh Notaris.
Dinamika hukum dalam perkembangan ekonomi seringkali lebih
mengutamakan kebiasaan. Aspek hukum yang menjadi dasar perbuataan
hukum tersebut diabaikan oleh suatu kebiasaan. Hal yang tidak dapat
dipungkiri dari keadaan tersebut adalah pemahaman yang salah mengenai
“kebiasaan” sebagai sumber hukum di Republik Indonesia.
Secara teoritis, kebiasaan merupakan salah satu
dari sumber hukum formil di Indonesia. Adapun sumber hukum formil di
Indonesia adalah Undang-Undang (statute),
kebiasaan (custom),
putusan hakim (jurisprudentie),
traktat, dan pendapat para sarjana hukum (doktrin). Dari kelima
sumber hukum tersebut, kebiasaan merupakan sumber hukum formil yang
paling menarik untuk dibahas. Hal ini cenderung dikarenakan
ambigusitis kata kebiasaan pada sumber hukum formil tersebut.
Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang tetap dan
dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama. Sesuai dengan Pasal 15
Algamene Bepalingen van Wetgeving voor
Indonesia, kebiasaan adalah bukan hukum
apabila undang-undang tidak menunjuknya. Selain itu, salah satu pasal
dalam peraturan perundang-undang Indonesia yang menyatkaan kebiasaan
sebagai dasar hukum adalah Pasal 1339 Burgerlijk
Wetboek yang berbunyi sebagai berikut :
“Persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikat
untuk apa yang telah ditetapkan dengan tegas oleh
persetujuan-persetujuan itu, tetapi juga untuk segala sesuatu menurut
sifat persetujuan-persetujuan itu diwajibkan oleh kebiasaan”
Pasal 1339 Burgerlijk
Wetboek secara lugas menyatakan bahwa
apabila persetujuan-persetujuan yang telah dibuat oleh para pihak
tidak menentukan lain, maka kekosongan hukum (hal-hal yang tidak
diatur dalam persetujuan) dapat diselesaikan berdasarkan kebiasaan
yang ada.
Penulis menyimpulkan dari kedua pasal yang
diuraikan tersebut diatas, kebiasaan yang dilakukan secara terus
menerus tidak dapat serta menjadi hukum. Kebiasaan hanya menjadi
suatu pelengkap saat terjadi kekosongan hukum. Apabila mengenai
kebiasaan tersebut telah terdapat hukum yang mengatur berbeda, maka
kebiasaan tersebut tidak dapat dijadikan acuan dalam melakukan
perbuatan hukum.
Dalam kebiasaan praktek perbankan, pengambilan obyek jaminan hanya
dapat dilakukan oleh debitur yang tercatat pada sistem pembukuan
perbankan. Apakah dasar hukum atas kewajiban bank tersebut? Apakah
suami atau isteri debitur tidak memiliki hak untuk melakukan
pengambilan obyek jaminan pada Bank? Apakah tindakan Bank yang tidak
memperbolehkan suami atau isteri mengambil obyek jaminan dapat
dibenarkan?
Analisa mengenai hak suami atau isteri untuk melakukan pengambilan
obyek jaminan pada Bank harus diawali pada status obyek jaminan.
Apakah obyek jaminan di Bank merupakan harta bawaan suami atau
isteri? Apabila obyek jaminan di Bank merupakan harta bawaan suami
atau isteri, maka suami atau isteri debitur tidak memiliki hak atas
obyek jaminan pada Bank. Sedangkan obyek jaminan yang merupakan harta
bersama suami atau isteri, maka suami atau isteri memiliki hak atas
obyek jaminan pada Bank.
Apabila obyek jaminan di Bank merupakan harta bersama suami atau
isteri debitur, maka suami atau isteri memiliki sebagian hak pada
obyek jaminan di Bank. Sehingga secara hukum, suami atau isteri dapat
melakukan pengambilan obyek jaminan di Bank. Terlebih pada saat
pendantangan perjanjian kredit, suami atau isteri turut hadir untuk
memberikan persetujuan. Dalam praktek perbankan, Bank bahkan meminta
Debitur memberikan surat kuasa notariil kepada suami atau isteri
untuk melakukan pengambilan obyek jaminan di Bank. Perspektif hukum
dalam permintaan pembuatan surat kuasa notariil tersebut tentu sangat
lucu. Karena suami atau isteri harus mendapatkan kuasa untuk
mengambil barangnya sendiri di Bank. Namun Bank seringkali mencoba
memberikan penjelasan atas dasar prinsip kehati-hatian Bank. Apabila
Bank memahami prinsip kehati-hatian secara menyeluruh, maka Bank
seharus menyadari bahwa permintaan persetujuan suami atau isteri
sudah cukup untuk melaksanakan prinsip tesebut.
Perdebatan mengenai hak suami atau isteri debitur mengambil obyek
jaminan di Bank adalah pada debitur yang mengadakan pernikahan saat
jangka waktu kredit berlangsung. Dalam hal ini suami atau isteri
debitur tidak ikut menandatangani perjanjian kredit di Bank. Keraguan
Bank atas kedudukan suami atau isteri sangat wajar pada kasus ini.
Oleh karena itu, Bank dapat meminta kepada suami atau isteri yang
datang menghadap Bank untuk melengkapi dokumen-dokumen yang
diperlukan. Adapun dokumen yang dapat membuktikan hubungan debitur
tersebut dapat berupa Akta Perkawinan yang dicatatatkan di Kantor
Catatan Sipil dan Kependudukan setempat. Pembuktian mengenai
kedudukan perkawinan antara debitur dan suami atau isteri dapat
memberikan hak kepada suami atau isteri untuk mengambil obyek jaminan
di Bank. Oleh karena itu, segala bentuk kuasa dari debitur seharusnya
tidak perlu untuk dimintkan kepada suami atau isteri.
Pengambilan obyek jaminan oleh suami atau isteri debitur yang harus
melengkapi surat kuasa notariil merupakan hal yang rancu dalam
pelaksanaan perbuatan hukum dewasa ini. Namun hal tersebut selalu
disyaratkan Bank sebagai landasan dalam melaksanakan kedudukannya
sebagai kreditor. Hal inilah yang menjadi kebiasaan Bank dalam
melaksanakan dinamika perekonomian sehari-hari.
Pembuatan kuasa untuk melakukan pengambilan obyek jaminan di Bank
oleh debitur kepada suami atau isteri merupakan salah satu dari
sekian banyak bentuk logika yang salah diterapkan dalam praktek
hukum. Pada dasarnya, kuasa itu harus dibuat kepada orang lain yang
tidak memiliki hak atas obyek jaminan di Bank.
Kebiasaan..
Telah menjadi alasan Bank dalam mendukung kesesatan pemikiran logika
formalistik. Pemberitahuan mengenai kedudukan suami atau isteri
dengan akta otentik, menurut hemat Penulis sudah cukup sebagai
landasan Bank untuk memberikan obyek jaminan kepada suami atau isteri
debitur. Apakah Bank bisa menahan dan tidak memberikan obyek kepada
suami atau isteri dalam kasus demikian? Dalam hal kredit debitur
telah dilunasi, Bank memiliki kewajiban untuk segera mengembalikan
obyek jaminan kepada debitur.
Oleh karena itu, suami atau isteri yang mendapatkan penolakan dalam
melakukan pengambilan obyek jaminan dapat memohon kepada Bank melalui
suatu surat permohonan tertulis dan meminta Bank untuk menjawab surat
permohonan tersebut secara tertulis. Sehingga suami atau isteri
tersebut dapat melakukan tindakan hukum atas penolakan yang dilakukan
oleh Bank. Hal ini mengingat, bahwa Bank telah menghalangi suami atau
isteri dalam menikmati dan mengolah harta bendanya. Hal demikian yang
dilakukan oleh Bank merupakan salah satu celah tuntutan hukum yang
dapat diminta oleh suami atau isteri.
Note : Artikel ini disadur dari Buku Masalah Terkait Kredit Perbankan karangan Febri Jaya, yang diterbitkan melalui Penerbit Garudhawaca dengan ISBN : 978-602-7949-85-0.