Beberapa pekan belakangan ini, penggunaan istilah “pribumi” menjadi isu yang hangat dibahas oleh masyarakat baik di dunia nyata maupun dunia maya (sosial media). Adapun isu tersebut merupakan reaksi atas penggunaan istilah “pribumi” oleh Anies Baswedan, dalam pidato perdananya menjadi Gubernur DKI Jakarta terpilih.
Pernyataan-pernyataan dalam pidato tersebut tidak secara utuh diperhatikan oleh seluruh masyarakat yang mempersoalkan penggunaan istilah “pribumi” oleh Anies Baswedan. Selain penggunaan istilah tersebut, tentu juga harus diperhatikan mengenai kata-kata yang turut dinyatakan dalam pidato tersebut, yakni masa kolonialisme dan penjajahan. Oleh karena itu, melalui tulisan ini, saya bermaksud untuk memberikan pandangan secara obyektif dan utuh atas penggunaan istilah “pribumi” dalam pidato perdana Anies Baswedan, sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Asal Muasal Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi
Tujuan penjajahan negara Indonesia oleh Belanda memiliki 3 tujuan, yakni Gold, Glory dan Gospel. Pada masa kolonialisme, gold dimaksud untuk mencari emas untuk memperkaya negara penjajah, glory dimaksud adalah kejayaan negara penjajah (memperluas daerah kekuasaan), dan gospel adalah penyebarluasan ajaran agama nasrani (misionarisme).
Adapun salah satu cikal bakal penggunaan istilah pribumi dan non pribumi adalah glory yang bermaksud untuk mendapatkan kejayaan negara penjajah. Kejayaan yang dimaksud tidak hanya mencakup wilayah kekuasaan saja, melainkan aspek perekonomian, sosial, politik, dan hukum.
Masa pendudukan hindia belanda yang berupaya untuk menerapkan hukum di Indonesia mengalami kendala yakni masyarakat telah memiliki hukum tersendiri (biasanya disebut Hukum Adat) dan hukum yang telah berlaku pada masa penjajahan sebelumnya. Agar hukum negara penjajah tersebut dapat diterapkan di Indonesia tanpa ada paksaan, maka hukum lain yang telah berlaku tetap diakui oleh negara penjajah tersebut.
Berdasarkan Pasal 163 Indische Staatsregeling (IS), pendudukan hindia belanda menggolongkan penduduk di Indonesia menjadi 3 (tiga) golongan, yakni :
1. Golongan Eropa atau yang dipersamakan;
Orang-orang yang termasuk dalam golongan Eropa adalah seluruh warga negara Belanda yang berada di Indonesia. Adapun penduduk yang dipersamakan dengan golongan Eropa adalah penduduk Jepang.
2. Golongan Timur Asing atau yang dipersamakan;
Orang-orang yang termasuk dalam golongan Timur Asing adalah orang-orang yang tidak termasuk dalam golongan Eropa dan Bumi Putera, yakni orang-orang India, Pakistan, China dan sebagainya.
3. Golongan Bumi Putera;
Orang-orang bumi putera adalah orang-orang asli yang turun temurun menjadi penghuni dan bangsa Indonesia, termasuk diantaranya pribumi yang tidak meleburkan diri ke golongan lain dan orang-orang dari golongan lain yang meleburkan diri ke golongan bumi putera.
Hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan tersebut diatas adalah berbeda-beda (plural). Bagi golongan Eropa diberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel). Sedangkan untuk golongan bumi putera diberlakukan hukum perdata Adat, dan golongan timur asing (termasuk China) berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel) yang berlaku bagi golongan Eropa.
Keberlakuan Penggolongan Penduduk Dewasa Ini
Pada masa pasca reformasi, pemerintah telah berupaya untuk mereduksi penggolongan penduduk tersebut melalui Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 Tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi Dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, Ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintah.
Adapun instruksi Presiden tersebut dikeluarkan oleh Bachruddin Jusuf Habibie pada tanggal 16 September 1998 dengan semangat reformasi.
Hal yang harus menjadi persoalan adalah : “Apakah larangan penggunaan istilah Pribumi dan Non Pribumi dapat direalisasikan??”
Untuk mengetahui realisasi larangan penggunaan istilah pribumi dan non pribumi, tentu kita harus berkaca dari dasar hukum yang menyebabkan disparitas antara golongan penduduk tersebut. Produk hukum yang menjadi benih-benih disparitas tersebut harus disadari dan dimaknai masih berlaku hingga saat ini. Bahkan masih eksis diajarkan pada fakultas hukum di seluruh Indonesia.
Sepanjang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel) masih belum secara tegas dinyatakan tidak berlaku, maka penggolongan penduduk tersebut masih ada hingga hari ini. Tentu untuk menyatakan ketidakberlakuan kedua produk hukum ini tetap harus memperhatikan kehadiran hukum penggantinya agar tidak terjadi kekosongan peraturan hukum yang cenderung dapat menyebabkan permasalahan yang lebih besar.
Salahkah Penggunaan Istilah Pribumi??
Dengan keadaan penggolongan penduduk yang masih berlaku hingga saat ini, tentu penggunaan istilah pribumi dan non pribumi bukan menjadi soal. Jika ada pihak-pihak yang menolak penggunaan istilah tersebut, maka saya persilahkan untuk membaca kembali pelajaran materi hukum perdata yang pernah dipelajari, apakah dalam hukum perdata yang dipelajari mutlak tidak mengenal penggunaan istilah pribumi dan non pribumi??
Terkait dengan persoalan keutuhan bangsa dan sentimen lainnya, tampaknya bukan menjadi persoalan dalam bidang hukum. Hal tersebut karena hingga saat ini, penggunaan istilah tersebut masih berlaku. Adapun yang mempersoalkan penggunaan istilah tersebut cenderung merupakan perdebatan terkait sentimentil politis yang tidak akan ada akhirnya jika masing-masing pihak tidak cooling down.
Argumentasi politis yang seharusnya menjadi duduk persoalan adalah forum dan waktu penyampaian istilah pribumi dan non pribumi yang kurang relevan. Adapun forum dan waktu penyampaian oleh Anies Baswedan tetap harus diakui tidak relevan untuk disampaikan setelah 72 tahun Indonesia merdeka. Tentu pernyataan mengenai keadaan golongan pribumi yang tertindas lebih relevan disampaikan saat pidato pasca kemerdekaan oleh tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan.
Momentum Kontroversi Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi
Bersamaan dengan kontroversi mengenai isu penggunaan istilah pribumi dan non pribumi seharusnya disikapi oleh para wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk membentuk hukum yang nasionalis guna mencabut seluruh keberlakuan hukum yang masih mengakui penggolongan penduduk tersebut.
Sebagai bahan contoh, hukum waris yang berlaku di Indonesia masih plural dan masih mengakui perbedaan penerapan hukum Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Kompilasi Hukum Islam dan Hukum Adat bagi masing-masing golongan penduduk. Selanjutnya kompetensi penyelesaian permasalahan keluarga yang masih berbeda-beda, untuk golongan tertentu merupakan kewenangan (kompetensi) Pengadilan Agama dan untuk golongan lainnya di Pengadilan Negeri.
Menurut saya, satu-satunya cara untuk menghentikan penggunaan istilah pribumi dan non pribumi tidak hanya pada penerbitan regulasi untuk melarang penggunaan istilah tersebut, melainkan harus menghentikan secara faktual penggunaan istilah tersebut dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang masih berlaku melalui pembentukan hukum nasional yang tidak mengandung disparitas antar golongan penduduk. KARENA KITA SEMUA ADALAH SATU, INDONESIA!!
Oleh : Febri Jaya, SH, MH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar