Minggu, 13 September 2020

Penerapan Force Majeure dalam Praktek Hukum

Pengertian 
Force majeure atau yang lebih dikenal sebagai keadaan memaksa merupakan keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan kewajibannya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya perjanjian. Keadaan atau peristiwa tersebut adalah hal yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada debitur, sehinnga debitur tersebut tidak dalam keadaan beritikad buruk. 

Dasar Hukum 
Force Majeure dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata Force Majeure pada Pasal 1244 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (Selanjutnya disingkat KUHPer) maka dapat diketahui bahwa “debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila ia tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakan perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya". 

Selanjutnya pada pasal 1245 KUHPer telah diatur bahwa “tidak ada pergantian biaya, kerugian dan bunga, bila dalam keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melaksanakan suatu perbuatan yang terlarang baginya"

Penafsiran Force Majeure Menurut Pakar 
Force Majeure atau keadaan memaksa, menurut Subekti dalam buku Hukum Perjanjian, ia mengartikan bahwa Force Majeure adalah pembelaan debitur untuk menunjukan bahwa tidak terlaksanakannya apa yang dijanjikan disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga dan di mana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadapnya keadaan atau peristiwa yang timbul diluar dugaan tadi. 

Selain itu menurut Abdulkadir Muhammad, force Majeure adalah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh debitur karena terjadi peristiwa yang tidak terduga yang mana debitur tidak dapat menduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan. 

Menurut Setiawan, force majeur adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya persetujuan yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya, yang mana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko serta tidak menduga pada waktu persetujuan dibuat. Karena semua itu sebelum debitur lalai untuk memenuhi prestasinya pada saat timbulnya keadaan tersebut. 

Klasifikasi Force Majeure 
Apabila dilihat dari sasaran yang terkena force majeure, maka force majeure dibedakan menjadi 
a. Force Majeure yang objektif Force majeure yang bersifat objektif ini terjadi atas benda yang merupakan objek kontrak tersebut. Artinya keadaan benda tersebut sedemikian rupa sehingga tidak mungkin lagi dipenuhi prestasi sesuai kontrak, tanpa adanya unsur kesalahan dari pihak debitur. Misalnya benda tersebut terbakar. Karena itu, pemenuhan prestasi sama sekali tidak mungkin dilakukan. Karena yang terkena adalah benda yang merupakan objek dan kontrak, maka force majeure seperti ini disebut juga dengan physical impossibility
b. Force Majeure yang subjektif Sebaliknya, force majeure yang bersifat subjektif terjadi manakala force majeure tersebut terjadi bukan dalam hubungannya dengan objek (yang merupakan benda) dari kontrak yang bersangkutan, tetapi dalam hubungannya dengan perbuatan atau kemampuan debitur itu sendiri. Misalnya jika debitur sakit berat sehingga tidak mungkin berprestasi lagi. 

Lain sisi apabila force majeure dilihat dari sisi kemungkinan pelaksanaan kewajiban maka force majeure dapat dibedakan menjadi :
a. Force Majeure Absolut 
Yang dimaksud dengan force majeure absolut adalah kewajiban daripada debitur benar – benar tidak dapat dilaksanakan seluruhnya, misalnya ketika objek benda hancur karena bencana alam. Dalam hal ini pemenuhan prestasi tidak mungkin dilaksakan oleh siapapun juga atau oleh setiap orang 
b. Force Majeure Relatif 
Yang dimaksud dalam force majeure relatif adalah kewajiban daripada debitur masih dapat dilaksanakan namun dengan pengorbanan atau biaya yang sangat besar dari pihak debitur, misalnya harga bahan baku impor menjadi sangat tinggi atau pemerintah tiba-tiba melarang membawa barang objek perjanjian keluar dari suatu pelabuhan. 

Itikad Baik 
Syarat sahnya perjanjian menurut KUHPer diatur di dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPer. yang terdiri atas: a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c. Suatu hal tertentu; d. Dan suatu sebab yang halal. 

Secara umum pemahaman atas pengertian itikad baik terdiri dari dua pengertian: 
a. Itikad baik yang obyektif, bahwa perjanjian yang dibuat itu mesti dilaksanakan dengan mengindahkan norma kepatutan dan kesusilaan. 
b. Itikad baik yang subyektif, pengertian itikad baik yang terletak dalam sikap batin seseorang. 

Syarat-syarat Force Majeure 
Untuk memperjelas batasan keadaan memaksa sebagai faktor penyebab sehingga debitur dapat dibebaskan dari tanggung jawab membayar ganti rugi akibat wanprestasinya, maka dikemukakan unsur-unsur atau syarat-syaratnya sebagai berikut: 
1. Tidak dipenuhinya prestasi karena suatu peristiwa yang membinasakan atau memusnahkan benda yang menjadi objek perikatan, ini selalu bersifat tetap; 
2. Tidak dapat dipenuhinya prestasi karena suatu peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur untuk berprestasi, ini dapat bersifat tetap atau sementara; 
3. Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan baik oleh debitur maupun kreditur. Jadi bukan karena kesalahan pihak-pihak utamanya pihak debitur. 

Adapun unsur-unsur keadaan memaksa, sebagai berikut: 
1. Peristiwa yang tidak terduga; 
2. Tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada debitur; 
3. Tidak ada itikad buruk dari debitur; 
4. Adanya keadaan yang tidak disengaja oleh debitur; 
5. Keadaan ini menghalangi debitur berprestasi; 
6. Jika prestasi dilaksanakan maka akan terkena larangan; 
7. Keadaan di luar kesalahan debitur; 
8. Debitur gagal berprestasi (menyerahkan barang); 
9. Kejadian tersebut tidak dapat dihindari oleh siapa pun (baik debitur maupun pihak lain); 
10. Debitur tidak terbukti melakukan kesalahan atau kelalaian 

Mariam Darus Badrulzaman dalam buku KUH Perdata Buku III : Hukum Perikatan dengan Penjelasan menerangkan bahwa agar debitur dapat mengemukakan alasan force majeur harus dipenuhi tiga persyaratan 
1. Ia harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah; 
2. Ia tidak dapat memenuhi kewajibannya secara lain; dan 
3. Ia tidak menanggung risiko, baik menurut ketentuan undang-undang maupun perjanjian atau karena itikad baik harus menanggung risiko. 

Apakah Force Majeure Membutuhkan Putusan Pengadilan? 
Jelas, bahwa pihak yang mendalilkan bahwa dalam keadaan mendesak harus dapat membuktikannya di pengadilan. Alasan force majeur tidak dapat serta merta dijadikan alasan atas tidak dapat dipenuhinya kewajiban pihak debitur dalam perjanjian komersial untuk menyatakan dirinya dalam keadaan force majeure. 

Kajian analisis case by case secara mendalam dengan memperhatikan klausul-klausul dalam suatu perjanjian menjadi tolak ukur untuk menentukan keadaan force majeure, termasuk juga tetap pembuktian unsur-unsur dari force majeure. 

Akibat daripada Force Majeure Menurut Asser dalam buku Pengajian Hukum Perdata Belanda terdapat dua kemungkinan, yaitu pengakhiran perjanjian atau penundaan kewajiban. 
1. Pengakhiran perjanjian terjadi ketika halangan bersifat tetap. Misalnya, seorang penyanyi yang sudah menandatangani kontrak untuk tampil dalam konser tiba-tiba harus dioperasi tenggorokannya, sehingga tidak memungkinkan lagi yang bersangkutan dapat menyanyi lagi. Pada situasi ini force majeur menyebabkan berakhirnya perjanjian. Dengan berakhirnya perjanjian, maka kontrak prestasi juga ikut berakhir, misalnya kewajiban pihak penyelenggara konser untuk membayar penyanyi tersebut. 
2. Penundaan kewajiban terjadi ketika peristiwa force majeur sifatnya sementara. Bila keadaan halangan telah pulih kembali, misal larangan ekspor dicabut kembali, maka kewajiban dari penjual kembali pulih untuk menyerahkan barang ekspor tersebut. 

Kesimpulan 
Force Majeure atau keadaan memaksa merupakan suata keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak. Keadaan tersebut tidak dapat serta merta dijadikan alasan dalam ketidakdapatan dalam pemenuhan kewajiban pihak debitur tersebut. Kajian analisis case by case secara mendalam dengan memperhatikan klausul-klausul dalam suatu perjanjian menjadi tolak ukur untuk menentukan keadaan force majeure, termasuk juga tetap pembuktian unsur-unsur dari force majeure di pengadilan.

Kamis, 19 Oktober 2017

Salahkah Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi??

Beberapa pekan belakangan ini, penggunaan istilah “pribumi” menjadi isu yang hangat dibahas oleh masyarakat baik di dunia nyata maupun dunia maya (sosial media). Adapun isu tersebut merupakan reaksi atas penggunaan istilah “pribumi” oleh Anies Baswedan, dalam pidato perdananya menjadi Gubernur DKI Jakarta terpilih.

Pernyataan-pernyataan dalam pidato tersebut tidak secara utuh diperhatikan oleh seluruh masyarakat yang mempersoalkan penggunaan istilah “pribumi” oleh Anies Baswedan. Selain penggunaan istilah tersebut, tentu juga harus diperhatikan mengenai kata-kata yang turut dinyatakan dalam pidato tersebut, yakni masa kolonialisme dan penjajahan. Oleh karena itu, melalui tulisan ini, saya bermaksud untuk memberikan pandangan secara obyektif dan utuh atas penggunaan istilah “pribumi” dalam pidato perdana Anies Baswedan, sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Asal Muasal Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi 
Tujuan penjajahan negara Indonesia oleh Belanda memiliki 3 tujuan, yakni Gold, Glory dan Gospel. Pada masa kolonialisme, gold dimaksud untuk mencari emas untuk memperkaya negara penjajah, glory dimaksud adalah kejayaan negara penjajah (memperluas daerah kekuasaan), dan gospel adalah penyebarluasan ajaran agama nasrani (misionarisme).

Adapun salah satu cikal bakal penggunaan istilah pribumi dan non pribumi adalah glory yang bermaksud untuk mendapatkan kejayaan negara penjajah. Kejayaan yang dimaksud tidak hanya mencakup wilayah kekuasaan saja, melainkan aspek perekonomian, sosial, politik, dan hukum.

Masa pendudukan hindia belanda yang berupaya untuk menerapkan hukum di Indonesia mengalami kendala yakni masyarakat telah memiliki hukum tersendiri (biasanya disebut Hukum Adat) dan hukum yang telah berlaku pada masa penjajahan sebelumnya. Agar hukum negara penjajah tersebut dapat diterapkan di Indonesia tanpa ada paksaan, maka hukum lain yang telah berlaku tetap diakui oleh negara penjajah tersebut.

Berdasarkan Pasal 163 Indische Staatsregeling (IS), pendudukan hindia belanda menggolongkan penduduk di Indonesia menjadi 3 (tiga) golongan, yakni :
1. Golongan Eropa atau yang dipersamakan;
Orang-orang yang termasuk dalam golongan Eropa adalah seluruh warga negara Belanda yang berada di Indonesia. Adapun penduduk yang dipersamakan dengan golongan Eropa adalah penduduk Jepang.
2. Golongan Timur Asing atau yang dipersamakan;
Orang-orang yang termasuk dalam golongan Timur Asing adalah orang-orang yang tidak termasuk dalam golongan Eropa dan Bumi Putera, yakni orang-orang India, Pakistan, China dan sebagainya.
3. Golongan Bumi Putera;  
Orang-orang bumi putera adalah orang-orang asli yang turun temurun menjadi penghuni dan bangsa Indonesia, termasuk diantaranya pribumi yang tidak meleburkan diri ke golongan lain dan orang-orang dari golongan lain yang meleburkan diri ke golongan bumi putera.

Hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan tersebut diatas adalah berbeda-beda (plural). Bagi golongan Eropa diberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel). Sedangkan untuk golongan bumi putera diberlakukan hukum perdata Adat, dan golongan timur asing (termasuk China) berlaku  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel) yang berlaku bagi golongan Eropa.

Keberlakuan Penggolongan Penduduk Dewasa Ini
Pada masa pasca reformasi, pemerintah telah berupaya untuk mereduksi  penggolongan penduduk tersebut melalui Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 Tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi Dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, Ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintah.

Adapun instruksi Presiden tersebut dikeluarkan oleh Bachruddin Jusuf Habibie pada tanggal 16 September 1998 dengan semangat reformasi.

Hal yang harus menjadi persoalan adalah : “Apakah larangan penggunaan istilah Pribumi dan Non Pribumi dapat direalisasikan??”

Untuk mengetahui realisasi larangan penggunaan istilah pribumi dan non pribumi, tentu kita harus berkaca dari dasar hukum yang menyebabkan disparitas antara golongan penduduk tersebut. Produk hukum yang menjadi benih-benih disparitas tersebut harus disadari dan dimaknai masih berlaku hingga saat ini. Bahkan masih eksis diajarkan pada fakultas hukum di seluruh Indonesia.

Sepanjang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel) masih belum secara tegas dinyatakan tidak berlaku, maka penggolongan penduduk tersebut masih ada hingga hari ini. Tentu untuk menyatakan ketidakberlakuan kedua produk hukum ini tetap harus memperhatikan kehadiran hukum penggantinya agar tidak terjadi kekosongan peraturan hukum yang cenderung dapat menyebabkan permasalahan yang lebih besar.

Salahkah Penggunaan Istilah Pribumi??
Dengan keadaan penggolongan penduduk yang masih berlaku hingga saat ini, tentu penggunaan istilah pribumi dan non pribumi bukan menjadi soal. Jika ada pihak-pihak yang menolak penggunaan istilah tersebut, maka saya persilahkan untuk membaca kembali pelajaran materi hukum perdata yang pernah dipelajari, apakah dalam hukum perdata yang dipelajari mutlak tidak mengenal penggunaan istilah pribumi dan non pribumi??

Terkait dengan persoalan keutuhan bangsa dan sentimen lainnya, tampaknya bukan menjadi persoalan dalam bidang hukum. Hal tersebut karena hingga saat ini, penggunaan istilah tersebut masih berlaku. Adapun yang mempersoalkan penggunaan istilah tersebut cenderung merupakan perdebatan terkait sentimentil politis yang tidak akan ada akhirnya jika masing-masing pihak tidak cooling down.

Argumentasi politis yang seharusnya menjadi duduk persoalan adalah forum dan waktu penyampaian istilah pribumi dan non pribumi yang kurang relevan. Adapun forum dan waktu penyampaian oleh Anies Baswedan tetap harus diakui tidak relevan untuk disampaikan setelah 72 tahun Indonesia merdeka. Tentu pernyataan mengenai keadaan golongan pribumi yang tertindas lebih relevan disampaikan saat pidato pasca kemerdekaan oleh tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan.

Momentum Kontroversi Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi
Bersamaan dengan kontroversi mengenai isu penggunaan istilah pribumi dan non pribumi seharusnya disikapi oleh para wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk membentuk hukum yang nasionalis guna mencabut seluruh keberlakuan hukum yang masih mengakui penggolongan penduduk tersebut.

Sebagai bahan contoh, hukum waris yang berlaku di Indonesia masih plural dan masih mengakui perbedaan penerapan hukum Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Kompilasi Hukum Islam dan Hukum Adat bagi masing-masing golongan penduduk. Selanjutnya kompetensi penyelesaian permasalahan keluarga yang masih berbeda-beda, untuk golongan tertentu merupakan kewenangan (kompetensi) Pengadilan Agama dan untuk golongan lainnya di Pengadilan Negeri.

Menurut saya, satu-satunya cara untuk menghentikan penggunaan istilah pribumi dan non pribumi tidak hanya pada penerbitan regulasi untuk melarang penggunaan istilah tersebut, melainkan harus menghentikan secara faktual penggunaan istilah tersebut dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang masih berlaku melalui pembentukan hukum nasional yang tidak mengandung disparitas antar golongan penduduk. KARENA KITA SEMUA ADALAH SATU, INDONESIA!! 

Oleh : Febri Jaya, SH, MH

Kamis, 12 Januari 2017

Take Over Kredit Secara Bawah Tangan (Tanpa Pengetahuan Kepada Pihak Bank)

Bank seringkali mengalami kesulitan dalam melaksanakan eksekusi obyek jaminan karena debitur telah melakukan penjualan atas obyek jaminan, baik melalui kesepakatan lisan (untuk obyek jaminan benda bergerak) hingga berdasarkan akta otentik yang dibuat oleh pejabat notaris (untuk obyek jaminan benda tidak bergerak). Dalam praktek perbankan, pelaksanaan penjualan demikian seringkali disebut “over kredit”. Namun kenyataannya, over kredit tersebut tidak mutlak memberikan bagi debitur dan bahkan berpotensi merugikan debitur.\

Pemberian fasilitas kredit kepada nasabah merupakan jenis layanan perbankan yang cukup klasik. Jika dilihat dari sudut pandang tersebut rumusan bank yang diberikan oleh Mac Leod sangatlah tepat, yaitu Bank is a Shop For The Sale of Credit. Sehingga tidak heran jika didapatkan paradigma masyarakat yang berpendapat bank adalah tempat untuk meminjam uang (Sentoso Sembiring, 2000 : 51).

Setelah dilakukan peminjaman uang oleh debitur, masalah antara Bank dan debitur dapat terjadi selama proses pembayaran cicilan kredit. Dalam proses ini, pembayaran oleh debitur tidak selamanya berjalan lancar. Selama jangka waktu pembayaran kredit, debitur dapat mengalami permasalahan-permasalahan keuangan. Selain itu, tidak semua debitur memiliki itikad baik dan pemahaman yang baik guna menyelesaikan tunggakan kredit macet. Pada dasarnya, Bank tidak pernah menutup kemungkinan negosiasi guna menyelesaikan permasalahan kredit macet yang sedang dialami debitur. Oleh karena itu, seharusnya debitur yang mengalami kredit macet melakukan negosiasi dengan petugas Bank untuk mendapatkan penyelesaian konkret mengenai tunggakan kredit.

Pertanyaan berikutnya adalah : “Apakah semua debitur macet berpikir demikian?”.

Tidak semua debitur yang menghadapi kredit macet memiliki pemahaman dalam menyelesaikan permasalahan kredit yang benar. Salah satu solusi yang seringkali ditempuh adalah menjual secara bawah tangan obyek jaminan Bank kepada pihak ketiga. Bahkan pelaksanaan penjualan secara bawah tangan tersebut tidak diberitahukan kepada Bank. Adapun penyelesaian kredit macet demikian hanya akan menimbulkan masalah baru di kemudian hari. Oleh karena itu, Penulis akan memaparkan berbagai pandangan mengenai hal tersebut, yakni :

Kerugian bagi debitur
  1. Pelaporan Kredit Macet Pada Sistem Perbankan Bank Indonesia
Debitur tidak mendapatkan jaminan apapun dari pihak ketiga yang membeli obyek jaminan Bank. Lantas bagaimana bila pihak ketiga tersebut juga tidak melakukan pembayaran sesuai dengan tanggal yang telah ditentukan? Hal ini merupakan alasan utama bahwa penjualan obyek jaminan kepada pihak ketiga bukan merupakan penyelesaian kredit macet yang terbaik. Segala hal yang akan terjadi dikemudian hari tetap tercatat atas nama debitur. Apabila pihak ketiga tidak melakukan pembayaran, maka Bank akan melaporkan status kredit macet tersebut kepada Bank Indonesia atas nama debitur. Nama debitur tersebut akan dilaporkan dalam suatu layanan perbankan secara online dan berlaku secara nasional di seluruh Indonesia. Hal ini dapat menyebabkan debitur demikian akan sulit mengajukan kredit perbankan di kemudian hari.

  1. Pertanggungjawaban Tetap Melekat pada Debitur
Pelaksanaan over kredit oleh debitur secara bawah tangan selalu dilengkapi dengan akta otentik seperti Perjanjian Pengikatan Jual Beli dilengkapi dengan Kuasa Mengambil Obyek Jaminan di Bank. Namun debitur seringkali tidak memahami dan mengetahui bahwa setiap tindakan atas obyek jaminan harus diberitahukan dan disetujui oleh Bank. Sehingga segala perjanjian antara debitur dan pihak ketiga dalam melakukan over kredit secara bawah tangan merupakan tindakan yang dilarang oleh Bank.

Sebagai langkah preventif, dalam perjanjian kredit antara Bank dan debitur selalu memuat klausula berikut :
  1. larangan pengalihan obyek jaminan selama jangka waktu kredit dan;
  2. pemberitahuan atas setiap tindakan terhadap obyek jaminan secara tertulis, seperti perbuatan hukum menyewakan dan meminjamkan obyek jaminan.

Secara analogi, segala perbuatan hukum tanpa sepengetahuan pihak Bank tidak dapat diakui Bank. Sehingga janji-janji (prestasi) antara Bank dan debitur tetap mengacu pada perjanjian kredit yang telah ditandatangani pada awal pencairan kredit. Sehingga segala bentuk pertanggungjawaban atas pelunasan kredit pada Bank tidak dapat dialihkan secara bawah tangan.

Masalah berikutnya terletak pada kelancaran pembayaran oleh pihak ketiga yang membeli obyek jaminan dari debitur. Apabila pihak ketiga lalai melakukan pembayaran cicilan fasilitas kredit tersebut, penagihan dan segala tindakan Bank tetap dilakukan kepada debitur. Hal ini tetap dapat dilakukan meskipun debitur telah menunjukkan bukti-bukti bahwa obyek jaminan telah dialihkan, baik berdasarkan perjanjian dibawah tangan dengan pihak ketiga hingga perjanjian notaril (akta otentik) di hadapan notaris.

Debitur tetap bertanggung jawab atas pelunasan fasilitas kredit. Apabila debitur tidak bersedia melakukan pemenuhan tanggung jawab tersebut, Bank memiliki hak untuk melukan upaya hukum dalam melakukan penagihan, baik terhadap obyek jaminan maupun seluruh harta debitur. Hal ini disebabkan setelah pelaksanaan over kredit secara bawah tangan didapatkan kemungkinan debitur tidak menguasai obyek jaminan Bank. Dalam kondisi demikian, Bank tetap memiliki hak untuk melakukan sita jaminan melalui gugatan di pengadilan negeri.

Adapun gugatan tersebut didasarkan pada Pasal 1131 Burgerlijk Wetboek (dalam bahasa Indonesia disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Pasal ini berbunyi sebagai berikut :
Segala kebendaan si ber-utang, baik yang bergerak maupun tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian haru, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”.
Secara tegas pasal ini memberikan ruang kepada Bank untuk melakukan gugatan atas harta debitur. Keadaan yang lebih merugikan debitur ialah harta kekayaan yang akan ada dikemudian hari juga menjadi jaminan pelunasan utang debitur kepada Bank.

Kerugian bagi pihak ketiga (pembeli obyek jaminan secara bawah tangan)
Selain janji-janji (prestasi) dalam perjanjian kredit dan Pasal 1131 BW yang mengikat debitur, pelaksanaan over kredit secara bawah tangan juga bertentangan dengan cara peralihan benda (levering). Pelaksanaan over kredit dapat saja terjadi pada obyek jaminan benda bergerak, namun tidak dapat terjadi pada obyek jaminan benda tidak bergerak (tetap).

Berdasarkan Pasal 37 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah mengatur sebagai beriktu :
Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Pasal 37 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah menegaskan bahwa peralihan atas benda tidak bergerak (tetap) adalah dengan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), seperti Akta Jual Beli atau Akta Hibah. Segala bentuk cara peralihan yang dilakukan tanpa menggunakan Akta PPAT adalah tidak sah. Oleh karena itu, penjualan obyek jaminan Bank secara bawah tangan maupun dengan akta notariil tidak menyebabkan peralihan secara hukum.

Lantas, bagaimana bila debitur digugat? Bagaimana bila obyek Bank yang dijual secara bawah tangan diajukan sebagai obyek jaminan sita eksekusi?

Mengingat bahwa peralihan atas obyek jaminan Bank hanya dapat ber-alih dengan Akta PPAT, maka aspek hukum peralihan tidak terjadi dengan akta notariil. Secara yuridis, obyek jaminan yang telah dijual secara bawah tangan tidak mengalami peralihan dan masih termasuk harta kekayaan debitur Bank. Hal ini menyebabkan debitur dapat digugat dengan obyek sita jaminan berupa benda tidak bergerak (tetap) yang menjadi jaminan Bank dan dijual kepada pihak ketiga. Kondisi demikian jelas merugikan pihak ketiga yang membeli obyek jaminan dari Bank.

Pihak ketiga yang membeli obyek jaminan Bank dapat berupaya melakukan mediasi atau pihak intervensi dalam hukum acara perdata. Sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, maka para pihak yang bersengketa diwajibkan untuk melakukan mediasi, sehingga pihak ketiga yang membeli obyek jaminan Bank dapat memberikan solusi dalam penyelesaian gugatan sesuai dengan kesepakatan antar pihak. Jadi keadaan obyek jaminan Bank yang dijual secara bawah tangan oleh debitur kepada pihak ketiga dapat “diselamatkan” dan tidak merugikan pihak ketiga yang membeli obyek jaminan Bank.

Jika debitur digugat secara perdata, pihak ketiga yang membeli obyek jaminan Bank secara bawah tangan memiliki peluang untuk mempertahankan hak-haknya. Namun pihak ketiga yang membeli obyek jaminan Bank tidak dapat mempertahankan haknya jika debitur mengalami pailit sesuai dengan Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Kepailitan mengakibatkan seluruh kekayaan debitur serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan berda dalam sitaan umum sejak putusan pernyataan pailit diucapkan (Jono, 2010, 107).

Secara prinsip, putusan pailit berlaku bagi harta debitur sebelumnya. Namun keadaan peralihan obyek jaminan Bank yang tidak sempurnya menyebabkan obyek jaminan Bank tersebut menjadi boedel harta pailit. Hal mana boedel harta pailit dijadikan sitaan dan digunakan untuk pelunasan utang debitur kepada kreditur-kreditur yang berhak.

Keuntungan bagi Bank
Keadaan yang diuraikan Penulis diatas, tidak dapat menghilangkan hak Bank untuk melakukan penagihan pembayaran kredit. Terlebih Bank yang memegang hak jaminan khusus menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.

Dalam hal Bank telah mendaftarkan hak atas jaminan khusus tersebut, maka tidak ada tindakan apapun terhadap obyek jaminan Bank.

Tindakan yang seharusnya dilakukan oleh debitur dan pihak ketiga
Debitur yang mengalami kesulitan keuangan dapat melakukan negosiasi dengan petugas Bank yang melakukan penagihan. Dalam proses negosiasi tersebut dapat dicari solusi penyelesaian kredit macet yang terbaik bagi Bank maupun debitur. Sehingga pelaksanaan penjualan dapat dilakukan secara langsung sesuai dengan hukum yang berlaku, yakni penandatanganan akta PPAT. Adapun teknis dan pelaksanaan penjualan tersebut dapat didiskusikan dengan petugas Bank untuk menyesuaikan prosedur internal masing-masing Bank.

Sumber / Referensi :
Santosa Sembiring, Hukum Perbankan, (Bandung : Mandar Maju, 2000) hlm 51.
Jono, Hukum Kepailitan. (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), hlm. 107.

Note : Artikel ini disadur dari Buku Masalah Terkait Kredit Perbankan karangan Febri Jaya, yang diterbitkan melalui Penerbit Garudhawaca dengan ISBN : 978-602-7949-85-0.

Sabtu, 01 Oktober 2016

Tatanan Hak Asasi Manusia Dengan Kewajiban Asasi Manusia



Konsep Pengakuan Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia (HAM) merupakan hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati yang bersifat universal. Oleh karena itu hak asasi manusia harus dilindungi, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun (Agus Santoso, 2012 ; 138). Penegakan hak asasi manusia merupakan mata rantai yang tak terputus dari prinsip demokrasi, negara hukum, dan kedaulatan rakyat. Pemerintahan yang demokrasi dan berkedaulatan rakyat mustahil dapat diwujudkan bila tidak menegakkan hak asasi manusia.

HAM sudah menjadi perhatian dunia setelah Perang Dunia II dengan disepakati Universal Declaration of Human Rights oleh negara-negara Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948. Momen inilah yang menyebabkan setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia. Adapun Universal Declaration of Human Rights dimaksud untuk memberikan acuan bagi penegakan HAM bagi masing-masing negara di dunia.

Indonesia merupakan salah satu negara yang menjunjung tinggi dan mengakui HAM. Kehadiran Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia memberikan penegasan pemerintah Indonesia dalam meberikan pengakuan bagi HAM. Adapun materi pengakuan HAM dalam undang-undang tersebut adalah : 
  1. Hak-hak asasi pribadi (personal rights), meliputi kebebasan untuk menyatakan pendapat dan kebebasan untuk memeluk agama;
  2. Hak-hak ekonomi (property rights), meluputi hak untuk memiliki sesuatu, hak untuk membeli dan menjual serta menikmatinya;
  3. Hak-hak politik (political rights), meliputi hak untuk ikut serta dalam pemerintahan, hak pilih (dipilih dan memilih dalam Pemilu), dan hak untuk mendirikan partai politik; 
  4. Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan (rights of legal equality); 
  5. Hak-hak asasi sosial dan kebudayaan (social and culture rights), meliputi hak untuk memilih pendidikan dan hak untuk mengembangkan kebudayaan;
  6. Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan (procedural rights), meluputi hak-hak saat dilakukan penahanan, penangkapan, penggeledahan.

Pergerakan Isu Pelanggaran HAM
Penegakan Ham tidak dapat terpisah dari kepentingan penguasa. Hal ini seringkali menjadikan isu-isu penegakan HAM sebagai komoditas politik. Sebagai contoh penyelengaraan pemilihan presiden tahun 2014. Salah satu calon presiden dalam berbagai kesempatan seringkali “dipojokkan” dengan isu-isu pelanggaran HAM berat pada Mei 1998 (sumber : www.voa-islam.com). Bahkan calon presiden tersebut juga dituntut untuk bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lampau tersebut.



Bukan saja pada pemilihan presiden tahun 2014, hingga saat ini isu-isu pelanggaran HAM seringkali didengungkan dalam praktek politik. Dapat kita contohkan, calon Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama, yang dinilai melanggar HAM oleh berbagai kalangan aktivis HAM saat melakukan relokasi warga guna normalisasi sungai-sungai di Ibukota (sumber : www.cnnindonesia.com). Bahkan penerbitan pedagang kaki lima yang berjualan di sepanjang jalan Tanah Abang juga dinilai juga melanggar HAM (sumber : megapolitan.harianterbit.com).

Beberapa contoh isu-isu pelanggaran HAM diatas memberikan gambaran bahwa isul pelanggaran Ham seringkali dibenturkan dengan kepentingan politik penguasa. Bahkan isu-isu pelanggaran HAM tidak jarang menjadi “senjata” bagi lawan politik untuk melakukan kampanye hitam (black campaign).

Keluar dari dinamika politik diatas, isu-isu HAM juga seringkali dimaknai secara sebagian dan tidak menyeluruh elemen-elemen masyarakat. Sebagai contoh, aksi demontrasi buruh yang selalu terjadi setiap tahun untuk meminta kenaikan upah minimum. Aksi demontrasi tersebut “seolah-olah” menjadi agenda tahunan organisasi buruh untuk memobilisasi buruh untuk melakukan demontrasi (sumber : metro.tempo.co).

Kritik Terhadap Isu-Isu HAM
Pemaknaan HAM secara sebagian dan tidak menyeluruh yang dimaksud penulis pada pernyataan diatas yakni : terdapat elemen dalam penegakan HAM yang hilang dan terlupakan.  Elemen yang dimaksud adalah Kewajiban Asasi Manusia. Konteks pembahasan HAM selalu mengedepankan hak-hak asasi manusia. Dalam konteks yang sama, penegakan HAM bahkan mengabaikan kewajiban-kewajiban yang seharusnya dilakukan oleh manusia.

Bukankah kita harus menjalankan kewajiban terlebih dahulu, kemudian menuntut hak? 

Setiap manusia seharusnya melaksanakan kewajiban terlebih dahulu dan kemudian meminta hak. Hal inilah yang menurut hemat Penulis seringkali diabaikan oleh aktivis-aktivis penegakan HAM dan pemerintah. Konteks pengabaian KAM oleh aktivis-aktivis HAM dan pemerintah akan diuraikan Penulis sesuai dengan isu-isu pelanggaran HAM yang telah disebutkan diatas, sebagai berikut :  
  1. Pengabaian ini bermula dari penegasan HAM melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia oleh pemerintah. Undang-undang ini memberikan penegasan bentuk-bentuk HAM yang dakui dan dilindungi oleh negara. Guna membangun hukum yang seimbang (antara hak dan kewajiban), seharusnya pemerintah juga membentuk satu undang-undang khusus Kewajiban Asasi Manusia (KAM). Jikalau khawatir pembahasan mengenai kewajiban asasi manusia ini meluas dan memberatkan masyarakat Indonesia, maka pemerintah dapat mengacu pada undang-undang yang telah ada (Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia).
  2. Pandangan aktivis HAM bahwa penertiban pedangang kaki lima di Tanah Abang melanggar HAM harus dikaitkan kembali kepada Kewajiban Asasi Manusia (KAM). Bagaimana seseorang yang melakukan usaha diatas lahan yang tidak diperuntukkan untuk usaha? Apakah pedangan kaki lima di Tanah Abang yang ditertibkan telah memiliki izin usaha untuk berdagang di lokasi tersebut? Hal ini tentu harus membuka dan mengingat kembali bentuk-bentuk kewajiban pedagang untuk dapat berusaha di suatu tempat. 
  3. Sama halnya dengan pedagang kaki lima, warga-warga yang direlokasi akibat normalisasi sungai di Ibukota seharusnya mengingat kembali kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi untuk menempati suatu pemukiman. Segala aspek perizinan dan keabsahan hak atas tanah tentu harus diperjelas agar tidak mengalami relokasi. 
  4. Buruh yang melakukan demonstrasi setiap tahun memang bukan merupakan satu pelanggaran. Penulis menyadari bahwa hak-hak buruh untuk mengemukakan pendapat harus diakui dan dihargai. Terkait dengan pelaksanaan demonstrasi tersebut, seharusnya organisasi buruh juga turut mendorong dan mensosialisasikan bentuk-bentuk kewajiban buruh di perusahaan masing-masing. Kemudian waktu pelaksanaan demonstrasi juga seharusnya diperhatikan oleh organisasi buruh. Realitas demontrasi buruh saat ini adalah telah melakukan tuntutan hak jauh hari sebelum keputusan pemerintah terkait penentuan upah minimum. Bentuk-bentuk perhatian yang diuraikan Penulis seharusnya diperhatikan oleh organisasi buruh sebagai bentuk Kewajiban Asasi Manusia (KAM).