Force majeure atau yang lebih dikenal sebagai keadaan memaksa
merupakan keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan
kewajibannya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat
dibuatnya perjanjian. Keadaan atau peristiwa tersebut adalah hal yang tidak
dapat dipertanggung jawabkan kepada debitur, sehinnga debitur tersebut tidak
dalam keadaan beritikad buruk.
Dasar Hukum
Force Majeure dalam Kitab Undang –
Undang Hukum Perdata Force Majeure pada Pasal 1244 Kitab Undang – Undang Hukum
Perdata (Selanjutnya disingkat KUHPer) maka dapat diketahui bahwa “debitur harus
dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila ia tidak dapat
membuktikan bahwa tidak dilaksanakan perikatan itu atau tidak tepatnya waktu
dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga,
yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk
kepadanya".
Selanjutnya pada pasal 1245 KUHPer telah diatur bahwa “tidak ada
pergantian biaya, kerugian dan bunga, bila dalam keadaan memaksa atau karena hal
yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat
sesuatu yang diwajibkan, atau melaksanakan suatu perbuatan yang terlarang
baginya".
Penafsiran Force Majeure Menurut Pakar
Force Majeure atau keadaan
memaksa, menurut Subekti dalam buku Hukum Perjanjian, ia mengartikan bahwa Force
Majeure adalah pembelaan debitur untuk menunjukan bahwa tidak terlaksanakannya
apa yang dijanjikan disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga
dan di mana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadapnya keadaan atau peristiwa
yang timbul diluar dugaan tadi.
Selain itu menurut Abdulkadir Muhammad, force
Majeure adalah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh debitur karena
terjadi peristiwa yang tidak terduga yang mana debitur tidak dapat menduga akan
terjadi pada waktu membuat perikatan.
Menurut Setiawan, force majeur adalah
suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya persetujuan yang menghalangi
debitur untuk memenuhi prestasinya, yang mana debitur tidak dapat dipersalahkan
dan tidak harus menanggung resiko serta tidak menduga pada waktu persetujuan
dibuat. Karena semua itu sebelum debitur lalai untuk memenuhi prestasinya pada
saat timbulnya keadaan tersebut.
Klasifikasi Force Majeure
Apabila dilihat dari
sasaran yang terkena force majeure, maka force majeure dibedakan menjadi
a.
Force Majeure yang objektif Force majeure yang bersifat objektif ini terjadi
atas benda yang merupakan objek kontrak tersebut. Artinya keadaan benda tersebut
sedemikian rupa sehingga tidak mungkin lagi dipenuhi prestasi sesuai kontrak,
tanpa adanya unsur kesalahan dari pihak debitur. Misalnya benda tersebut
terbakar. Karena itu, pemenuhan prestasi sama sekali tidak mungkin dilakukan.
Karena yang terkena adalah benda yang merupakan objek dan kontrak, maka force
majeure seperti ini disebut juga dengan physical impossibility.
b. Force Majeure
yang subjektif Sebaliknya, force majeure yang bersifat subjektif terjadi
manakala force majeure tersebut terjadi bukan dalam hubungannya dengan objek
(yang merupakan benda) dari kontrak yang bersangkutan, tetapi dalam hubungannya
dengan perbuatan atau kemampuan debitur itu sendiri. Misalnya jika debitur sakit
berat sehingga tidak mungkin berprestasi lagi.
Lain sisi apabila force majeure
dilihat dari sisi kemungkinan pelaksanaan kewajiban maka force majeure dapat
dibedakan menjadi :
a. Force Majeure Absolut
Yang dimaksud dengan force majeure
absolut adalah kewajiban daripada debitur benar – benar tidak dapat dilaksanakan
seluruhnya, misalnya ketika objek benda hancur karena bencana alam. Dalam hal
ini pemenuhan prestasi tidak mungkin dilaksakan oleh siapapun juga atau oleh
setiap orang
b. Force Majeure Relatif
Yang dimaksud dalam force
majeure relatif adalah kewajiban daripada debitur masih dapat dilaksanakan namun
dengan pengorbanan atau biaya yang sangat besar dari pihak debitur, misalnya
harga bahan baku impor menjadi sangat tinggi atau pemerintah tiba-tiba melarang
membawa barang objek perjanjian keluar dari suatu pelabuhan.
Itikad Baik
Syarat
sahnya perjanjian menurut KUHPer diatur di dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPer.
yang terdiri atas: a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. Kecakapan
untuk membuat suatu perikatan; c. Suatu hal tertentu; d. Dan suatu sebab yang
halal.
Secara umum pemahaman atas pengertian itikad baik terdiri dari dua
pengertian:
a. Itikad baik yang obyektif, bahwa perjanjian yang dibuat itu mesti
dilaksanakan dengan mengindahkan norma kepatutan dan kesusilaan.
b. Itikad baik
yang subyektif, pengertian itikad baik yang terletak dalam sikap batin seseorang.
Syarat-syarat Force Majeure
Untuk memperjelas batasan keadaan memaksa sebagai
faktor penyebab sehingga debitur dapat dibebaskan dari tanggung jawab membayar
ganti rugi akibat wanprestasinya, maka dikemukakan unsur-unsur atau
syarat-syaratnya sebagai berikut:
1. Tidak dipenuhinya prestasi karena suatu
peristiwa yang membinasakan atau memusnahkan benda yang menjadi objek perikatan,
ini selalu bersifat tetap;
2. Tidak dapat dipenuhinya prestasi karena suatu
peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur untuk berprestasi, ini dapat
bersifat tetap atau sementara;
3. Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau
diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan baik oleh debitur maupun
kreditur. Jadi bukan karena kesalahan pihak-pihak utamanya pihak debitur.
Adapun
unsur-unsur keadaan memaksa, sebagai berikut:
1. Peristiwa yang tidak terduga;
2. Tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada debitur;
3. Tidak ada itikad buruk
dari debitur;
4. Adanya keadaan yang tidak disengaja oleh debitur;
5. Keadaan
ini menghalangi debitur berprestasi;
6. Jika prestasi dilaksanakan maka akan
terkena larangan;
7. Keadaan di luar kesalahan debitur;
8. Debitur gagal
berprestasi (menyerahkan barang);
9. Kejadian tersebut tidak dapat dihindari
oleh siapa pun (baik debitur maupun pihak lain);
10. Debitur tidak terbukti
melakukan kesalahan atau kelalaian
Mariam Darus Badrulzaman dalam buku KUH
Perdata Buku III : Hukum Perikatan dengan Penjelasan menerangkan bahwa agar
debitur dapat mengemukakan alasan force majeur harus dipenuhi tiga persyaratan
1. Ia harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah;
2. Ia tidak dapat memenuhi
kewajibannya secara lain; dan
3. Ia tidak menanggung risiko, baik menurut
ketentuan undang-undang maupun perjanjian atau karena itikad baik harus
menanggung risiko.
Apakah Force Majeure Membutuhkan Putusan Pengadilan?
Jelas,
bahwa pihak yang mendalilkan bahwa dalam keadaan mendesak harus dapat
membuktikannya di pengadilan. Alasan force majeur tidak dapat serta merta
dijadikan alasan atas tidak dapat dipenuhinya kewajiban pihak debitur dalam
perjanjian komersial untuk menyatakan dirinya dalam keadaan force majeure.
Kajian analisis case by case secara mendalam dengan memperhatikan
klausul-klausul dalam suatu perjanjian menjadi tolak ukur untuk menentukan
keadaan force majeure, termasuk juga tetap pembuktian unsur-unsur dari force
majeure.
Akibat daripada Force Majeure Menurut Asser dalam buku Pengajian Hukum
Perdata Belanda terdapat dua kemungkinan, yaitu pengakhiran perjanjian atau
penundaan kewajiban.
1. Pengakhiran perjanjian terjadi ketika halangan bersifat
tetap. Misalnya, seorang penyanyi yang sudah menandatangani kontrak untuk tampil
dalam konser tiba-tiba harus dioperasi tenggorokannya, sehingga tidak
memungkinkan lagi yang bersangkutan dapat menyanyi lagi. Pada situasi ini force
majeur menyebabkan berakhirnya perjanjian. Dengan berakhirnya perjanjian, maka
kontrak prestasi juga ikut berakhir, misalnya kewajiban pihak penyelenggara
konser untuk membayar penyanyi tersebut.
2. Penundaan kewajiban terjadi ketika
peristiwa force majeur sifatnya sementara. Bila keadaan halangan telah pulih
kembali, misal larangan ekspor dicabut kembali, maka kewajiban dari penjual
kembali pulih untuk menyerahkan barang ekspor tersebut.
Kesimpulan
Force Majeure
atau keadaan memaksa merupakan suata keadaan dimana seorang debitur terhalang
untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga
pada saat dibuatnya kontrak. Keadaan tersebut tidak dapat serta merta dijadikan
alasan dalam ketidakdapatan dalam pemenuhan kewajiban pihak debitur tersebut.
Kajian analisis case by case secara mendalam dengan memperhatikan
klausul-klausul dalam suatu perjanjian menjadi tolak ukur untuk menentukan
keadaan force majeure, termasuk juga tetap pembuktian unsur-unsur dari force
majeure di pengadilan.