Minggu, 13 September 2020

Penerapan Force Majeure dalam Praktek Hukum

Pengertian 
Force majeure atau yang lebih dikenal sebagai keadaan memaksa merupakan keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan kewajibannya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya perjanjian. Keadaan atau peristiwa tersebut adalah hal yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada debitur, sehinnga debitur tersebut tidak dalam keadaan beritikad buruk. 

Dasar Hukum 
Force Majeure dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata Force Majeure pada Pasal 1244 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (Selanjutnya disingkat KUHPer) maka dapat diketahui bahwa “debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila ia tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakan perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya". 

Selanjutnya pada pasal 1245 KUHPer telah diatur bahwa “tidak ada pergantian biaya, kerugian dan bunga, bila dalam keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melaksanakan suatu perbuatan yang terlarang baginya"

Penafsiran Force Majeure Menurut Pakar 
Force Majeure atau keadaan memaksa, menurut Subekti dalam buku Hukum Perjanjian, ia mengartikan bahwa Force Majeure adalah pembelaan debitur untuk menunjukan bahwa tidak terlaksanakannya apa yang dijanjikan disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga dan di mana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadapnya keadaan atau peristiwa yang timbul diluar dugaan tadi. 

Selain itu menurut Abdulkadir Muhammad, force Majeure adalah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh debitur karena terjadi peristiwa yang tidak terduga yang mana debitur tidak dapat menduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan. 

Menurut Setiawan, force majeur adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya persetujuan yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya, yang mana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko serta tidak menduga pada waktu persetujuan dibuat. Karena semua itu sebelum debitur lalai untuk memenuhi prestasinya pada saat timbulnya keadaan tersebut. 

Klasifikasi Force Majeure 
Apabila dilihat dari sasaran yang terkena force majeure, maka force majeure dibedakan menjadi 
a. Force Majeure yang objektif Force majeure yang bersifat objektif ini terjadi atas benda yang merupakan objek kontrak tersebut. Artinya keadaan benda tersebut sedemikian rupa sehingga tidak mungkin lagi dipenuhi prestasi sesuai kontrak, tanpa adanya unsur kesalahan dari pihak debitur. Misalnya benda tersebut terbakar. Karena itu, pemenuhan prestasi sama sekali tidak mungkin dilakukan. Karena yang terkena adalah benda yang merupakan objek dan kontrak, maka force majeure seperti ini disebut juga dengan physical impossibility
b. Force Majeure yang subjektif Sebaliknya, force majeure yang bersifat subjektif terjadi manakala force majeure tersebut terjadi bukan dalam hubungannya dengan objek (yang merupakan benda) dari kontrak yang bersangkutan, tetapi dalam hubungannya dengan perbuatan atau kemampuan debitur itu sendiri. Misalnya jika debitur sakit berat sehingga tidak mungkin berprestasi lagi. 

Lain sisi apabila force majeure dilihat dari sisi kemungkinan pelaksanaan kewajiban maka force majeure dapat dibedakan menjadi :
a. Force Majeure Absolut 
Yang dimaksud dengan force majeure absolut adalah kewajiban daripada debitur benar – benar tidak dapat dilaksanakan seluruhnya, misalnya ketika objek benda hancur karena bencana alam. Dalam hal ini pemenuhan prestasi tidak mungkin dilaksakan oleh siapapun juga atau oleh setiap orang 
b. Force Majeure Relatif 
Yang dimaksud dalam force majeure relatif adalah kewajiban daripada debitur masih dapat dilaksanakan namun dengan pengorbanan atau biaya yang sangat besar dari pihak debitur, misalnya harga bahan baku impor menjadi sangat tinggi atau pemerintah tiba-tiba melarang membawa barang objek perjanjian keluar dari suatu pelabuhan. 

Itikad Baik 
Syarat sahnya perjanjian menurut KUHPer diatur di dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPer. yang terdiri atas: a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c. Suatu hal tertentu; d. Dan suatu sebab yang halal. 

Secara umum pemahaman atas pengertian itikad baik terdiri dari dua pengertian: 
a. Itikad baik yang obyektif, bahwa perjanjian yang dibuat itu mesti dilaksanakan dengan mengindahkan norma kepatutan dan kesusilaan. 
b. Itikad baik yang subyektif, pengertian itikad baik yang terletak dalam sikap batin seseorang. 

Syarat-syarat Force Majeure 
Untuk memperjelas batasan keadaan memaksa sebagai faktor penyebab sehingga debitur dapat dibebaskan dari tanggung jawab membayar ganti rugi akibat wanprestasinya, maka dikemukakan unsur-unsur atau syarat-syaratnya sebagai berikut: 
1. Tidak dipenuhinya prestasi karena suatu peristiwa yang membinasakan atau memusnahkan benda yang menjadi objek perikatan, ini selalu bersifat tetap; 
2. Tidak dapat dipenuhinya prestasi karena suatu peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur untuk berprestasi, ini dapat bersifat tetap atau sementara; 
3. Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan baik oleh debitur maupun kreditur. Jadi bukan karena kesalahan pihak-pihak utamanya pihak debitur. 

Adapun unsur-unsur keadaan memaksa, sebagai berikut: 
1. Peristiwa yang tidak terduga; 
2. Tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada debitur; 
3. Tidak ada itikad buruk dari debitur; 
4. Adanya keadaan yang tidak disengaja oleh debitur; 
5. Keadaan ini menghalangi debitur berprestasi; 
6. Jika prestasi dilaksanakan maka akan terkena larangan; 
7. Keadaan di luar kesalahan debitur; 
8. Debitur gagal berprestasi (menyerahkan barang); 
9. Kejadian tersebut tidak dapat dihindari oleh siapa pun (baik debitur maupun pihak lain); 
10. Debitur tidak terbukti melakukan kesalahan atau kelalaian 

Mariam Darus Badrulzaman dalam buku KUH Perdata Buku III : Hukum Perikatan dengan Penjelasan menerangkan bahwa agar debitur dapat mengemukakan alasan force majeur harus dipenuhi tiga persyaratan 
1. Ia harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah; 
2. Ia tidak dapat memenuhi kewajibannya secara lain; dan 
3. Ia tidak menanggung risiko, baik menurut ketentuan undang-undang maupun perjanjian atau karena itikad baik harus menanggung risiko. 

Apakah Force Majeure Membutuhkan Putusan Pengadilan? 
Jelas, bahwa pihak yang mendalilkan bahwa dalam keadaan mendesak harus dapat membuktikannya di pengadilan. Alasan force majeur tidak dapat serta merta dijadikan alasan atas tidak dapat dipenuhinya kewajiban pihak debitur dalam perjanjian komersial untuk menyatakan dirinya dalam keadaan force majeure. 

Kajian analisis case by case secara mendalam dengan memperhatikan klausul-klausul dalam suatu perjanjian menjadi tolak ukur untuk menentukan keadaan force majeure, termasuk juga tetap pembuktian unsur-unsur dari force majeure. 

Akibat daripada Force Majeure Menurut Asser dalam buku Pengajian Hukum Perdata Belanda terdapat dua kemungkinan, yaitu pengakhiran perjanjian atau penundaan kewajiban. 
1. Pengakhiran perjanjian terjadi ketika halangan bersifat tetap. Misalnya, seorang penyanyi yang sudah menandatangani kontrak untuk tampil dalam konser tiba-tiba harus dioperasi tenggorokannya, sehingga tidak memungkinkan lagi yang bersangkutan dapat menyanyi lagi. Pada situasi ini force majeur menyebabkan berakhirnya perjanjian. Dengan berakhirnya perjanjian, maka kontrak prestasi juga ikut berakhir, misalnya kewajiban pihak penyelenggara konser untuk membayar penyanyi tersebut. 
2. Penundaan kewajiban terjadi ketika peristiwa force majeur sifatnya sementara. Bila keadaan halangan telah pulih kembali, misal larangan ekspor dicabut kembali, maka kewajiban dari penjual kembali pulih untuk menyerahkan barang ekspor tersebut. 

Kesimpulan 
Force Majeure atau keadaan memaksa merupakan suata keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak. Keadaan tersebut tidak dapat serta merta dijadikan alasan dalam ketidakdapatan dalam pemenuhan kewajiban pihak debitur tersebut. Kajian analisis case by case secara mendalam dengan memperhatikan klausul-klausul dalam suatu perjanjian menjadi tolak ukur untuk menentukan keadaan force majeure, termasuk juga tetap pembuktian unsur-unsur dari force majeure di pengadilan.