Bank
seringkali mengalami kesulitan dalam melaksanakan eksekusi obyek
jaminan karena debitur telah melakukan penjualan atas obyek jaminan,
baik melalui kesepakatan lisan (untuk obyek jaminan benda bergerak)
hingga berdasarkan akta otentik yang dibuat oleh pejabat notaris
(untuk obyek jaminan benda tidak bergerak). Dalam praktek perbankan,
pelaksanaan penjualan demikian seringkali disebut “over
kredit”. Namun kenyataannya, over
kredit tersebut tidak mutlak memberikan
bagi debitur dan bahkan berpotensi merugikan debitur.\
Pemberian
fasilitas kredit kepada nasabah merupakan jenis layanan perbankan
yang cukup klasik. Jika dilihat dari sudut pandang tersebut rumusan
bank yang diberikan oleh Mac Leod sangatlah tepat, yaitu Bank is a
Shop For The Sale of Credit. Sehingga tidak heran jika didapatkan
paradigma masyarakat yang berpendapat bank adalah tempat untuk
meminjam uang (Sentoso Sembiring, 2000 : 51).
Setelah
dilakukan peminjaman uang oleh debitur, masalah antara Bank dan
debitur dapat terjadi selama proses pembayaran cicilan kredit. Dalam
proses ini, pembayaran oleh debitur tidak selamanya berjalan lancar.
Selama jangka waktu pembayaran kredit, debitur dapat mengalami
permasalahan-permasalahan keuangan. Selain itu, tidak semua debitur
memiliki itikad baik dan pemahaman yang baik guna menyelesaikan
tunggakan kredit macet. Pada dasarnya, Bank tidak pernah menutup
kemungkinan negosiasi guna menyelesaikan permasalahan kredit macet
yang sedang dialami debitur. Oleh karena itu, seharusnya debitur yang
mengalami kredit macet melakukan negosiasi dengan petugas Bank untuk
mendapatkan penyelesaian konkret mengenai tunggakan kredit.
Pertanyaan
berikutnya adalah : “Apakah semua
debitur macet berpikir demikian?”.
Tidak
semua debitur yang menghadapi kredit macet memiliki pemahaman dalam
menyelesaikan permasalahan kredit yang benar. Salah satu solusi yang
seringkali ditempuh adalah menjual secara bawah tangan obyek jaminan
Bank kepada pihak ketiga. Bahkan pelaksanaan penjualan secara bawah
tangan tersebut tidak diberitahukan kepada Bank. Adapun penyelesaian
kredit macet demikian hanya akan menimbulkan masalah baru di kemudian
hari. Oleh karena itu, Penulis akan memaparkan berbagai pandangan
mengenai hal tersebut, yakni :
Kerugian
bagi debitur
-
Pelaporan Kredit Macet Pada Sistem Perbankan Bank Indonesia
Debitur
tidak mendapatkan jaminan apapun dari pihak ketiga yang membeli obyek
jaminan Bank. Lantas bagaimana bila pihak ketiga tersebut juga tidak
melakukan pembayaran sesuai dengan tanggal yang telah ditentukan? Hal
ini merupakan alasan utama bahwa penjualan obyek jaminan kepada pihak
ketiga bukan merupakan penyelesaian kredit macet yang terbaik. Segala
hal yang akan terjadi dikemudian hari tetap tercatat atas nama
debitur. Apabila pihak ketiga tidak melakukan pembayaran, maka Bank
akan melaporkan status kredit macet tersebut kepada Bank Indonesia
atas nama debitur. Nama debitur tersebut akan dilaporkan dalam suatu
layanan perbankan secara online dan berlaku secara nasional di
seluruh Indonesia. Hal ini dapat menyebabkan debitur demikian akan
sulit mengajukan kredit perbankan di kemudian hari.
-
Pertanggungjawaban Tetap Melekat pada Debitur
Pelaksanaan
over kredit oleh
debitur secara bawah tangan selalu dilengkapi dengan akta otentik
seperti Perjanjian Pengikatan Jual Beli dilengkapi dengan Kuasa
Mengambil Obyek Jaminan di Bank. Namun debitur seringkali tidak
memahami dan mengetahui bahwa setiap tindakan atas obyek jaminan
harus diberitahukan dan disetujui oleh Bank. Sehingga segala
perjanjian antara debitur dan pihak ketiga dalam melakukan over
kredit secara bawah tangan merupakan
tindakan yang dilarang oleh Bank.
Sebagai
langkah preventif, dalam perjanjian kredit antara Bank dan debitur
selalu memuat klausula berikut :
-
larangan pengalihan obyek jaminan selama jangka waktu kredit dan;
-
pemberitahuan atas setiap tindakan terhadap obyek jaminan secara tertulis, seperti perbuatan hukum menyewakan dan meminjamkan obyek jaminan.
Secara
analogi, segala perbuatan hukum tanpa sepengetahuan pihak Bank tidak
dapat diakui Bank. Sehingga janji-janji (prestasi)
antara Bank dan debitur tetap mengacu pada perjanjian kredit yang
telah ditandatangani pada awal pencairan kredit. Sehingga segala
bentuk pertanggungjawaban atas pelunasan kredit pada Bank tidak dapat
dialihkan secara bawah tangan.
Masalah
berikutnya terletak pada kelancaran pembayaran oleh pihak ketiga yang
membeli obyek jaminan dari debitur. Apabila pihak ketiga lalai
melakukan pembayaran cicilan fasilitas kredit tersebut, penagihan dan
segala tindakan Bank tetap dilakukan kepada debitur. Hal ini tetap
dapat dilakukan meskipun debitur telah menunjukkan bukti-bukti bahwa
obyek jaminan telah dialihkan, baik berdasarkan perjanjian dibawah
tangan dengan pihak ketiga hingga perjanjian notaril (akta otentik)
di hadapan notaris.
Debitur
tetap bertanggung jawab atas pelunasan fasilitas kredit. Apabila
debitur tidak bersedia melakukan pemenuhan tanggung jawab tersebut,
Bank memiliki hak untuk melukan upaya hukum dalam melakukan
penagihan, baik terhadap obyek jaminan maupun seluruh harta debitur.
Hal ini disebabkan setelah pelaksanaan over
kredit secara bawah tangan didapatkan
kemungkinan debitur tidak menguasai obyek jaminan Bank. Dalam kondisi
demikian, Bank tetap memiliki hak untuk melakukan sita jaminan
melalui gugatan di pengadilan negeri.
Adapun
gugatan tersebut didasarkan pada Pasal 1131 Burgerlijk
Wetboek (dalam bahasa Indonesia disebut
dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Pasal ini berbunyi sebagai
berikut :
“Segala
kebendaan si ber-utang, baik yang bergerak maupun tak bergerak, baik
yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian haru, menjadi
tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”.
Secara
tegas pasal ini memberikan ruang kepada Bank untuk melakukan gugatan
atas harta debitur. Keadaan yang lebih merugikan debitur ialah harta
kekayaan yang akan ada dikemudian hari juga menjadi jaminan pelunasan
utang debitur kepada Bank.
Kerugian
bagi pihak ketiga (pembeli obyek jaminan secara bawah tangan)
Selain
janji-janji (prestasi)
dalam perjanjian kredit dan Pasal 1131 BW yang mengikat debitur,
pelaksanaan over kredit secara
bawah tangan juga bertentangan dengan cara peralihan benda
(levering).
Pelaksanaan over kredit
dapat saja terjadi pada obyek jaminan benda bergerak, namun tidak
dapat terjadi pada obyek jaminan benda tidak bergerak (tetap).
Berdasarkan
Pasal 37 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah mengatur sebagai beriktu :
“Peralihan
hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual
beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan
hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang
hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh
PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku”.
Pasal
37 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah menegaskan bahwa peralihan atas benda tidak
bergerak (tetap) adalah dengan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT), seperti Akta Jual Beli atau Akta Hibah. Segala bentuk cara
peralihan yang dilakukan tanpa menggunakan Akta PPAT adalah tidak
sah. Oleh karena itu, penjualan obyek jaminan Bank secara bawah
tangan maupun dengan akta notariil tidak menyebabkan peralihan secara
hukum.
Lantas,
bagaimana bila debitur digugat? Bagaimana bila obyek Bank yang dijual
secara bawah tangan diajukan sebagai obyek jaminan sita eksekusi?
Mengingat
bahwa peralihan atas obyek jaminan Bank hanya dapat ber-alih dengan
Akta PPAT, maka aspek hukum peralihan tidak terjadi dengan akta
notariil. Secara yuridis, obyek jaminan yang telah dijual secara
bawah tangan tidak mengalami peralihan dan masih termasuk harta
kekayaan debitur Bank. Hal ini menyebabkan debitur dapat digugat
dengan obyek sita jaminan berupa benda tidak bergerak (tetap) yang
menjadi jaminan Bank dan dijual kepada pihak ketiga. Kondisi demikian
jelas merugikan pihak ketiga yang membeli obyek jaminan dari Bank.
Pihak
ketiga yang membeli obyek jaminan Bank dapat berupaya melakukan
mediasi atau pihak intervensi dalam hukum acara perdata. Sesuai
dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2008 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan, maka para pihak yang bersengketa diwajibkan
untuk melakukan mediasi, sehingga pihak ketiga yang membeli obyek
jaminan Bank dapat memberikan solusi dalam penyelesaian gugatan
sesuai dengan kesepakatan antar pihak. Jadi keadaan obyek jaminan
Bank yang dijual secara bawah tangan oleh debitur kepada pihak ketiga
dapat “diselamatkan” dan tidak merugikan pihak ketiga yang
membeli obyek jaminan Bank.
Jika
debitur digugat secara perdata, pihak ketiga yang membeli obyek
jaminan Bank secara bawah tangan memiliki peluang untuk
mempertahankan hak-haknya. Namun pihak ketiga yang membeli obyek
jaminan Bank tidak dapat mempertahankan haknya jika debitur mengalami
pailit sesuai dengan Undang-Undang 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Kepailitan mengakibatkan
seluruh kekayaan debitur serta segala sesuatu yang diperoleh selama
kepailitan berda dalam sitaan umum sejak putusan pernyataan pailit
diucapkan (Jono, 2010, 107).
Secara
prinsip, putusan pailit berlaku bagi harta debitur sebelumnya. Namun
keadaan peralihan obyek jaminan Bank yang tidak sempurnya menyebabkan
obyek jaminan Bank tersebut menjadi boedel harta pailit. Hal mana
boedel harta pailit dijadikan sitaan dan digunakan untuk pelunasan
utang debitur kepada kreditur-kreditur yang berhak.
Keuntungan
bagi Bank
Keadaan
yang diuraikan Penulis diatas, tidak dapat menghilangkan hak Bank
untuk melakukan penagihan pembayaran kredit. Terlebih Bank yang
memegang hak jaminan khusus menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku seperti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Atas Tanah
Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah dan Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.
Dalam
hal Bank telah mendaftarkan hak atas jaminan khusus tersebut, maka
tidak ada tindakan apapun terhadap obyek jaminan Bank.
Tindakan
yang seharusnya dilakukan oleh debitur dan pihak ketiga
Debitur
yang mengalami kesulitan keuangan dapat melakukan negosiasi dengan
petugas Bank yang melakukan penagihan. Dalam proses negosiasi
tersebut dapat dicari solusi penyelesaian kredit macet yang terbaik
bagi Bank maupun debitur. Sehingga pelaksanaan penjualan dapat
dilakukan secara langsung sesuai dengan hukum yang berlaku, yakni
penandatanganan akta PPAT. Adapun teknis dan pelaksanaan penjualan
tersebut dapat didiskusikan dengan petugas Bank untuk menyesuaikan
prosedur internal masing-masing Bank.
Sumber
/ Referensi :
Santosa
Sembiring, Hukum Perbankan, (Bandung : Mandar Maju, 2000) hlm
51.
Jono,
Hukum Kepailitan. (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), hlm. 107.
Note
: Artikel ini disadur dari Buku Masalah Terkait Kredit
Perbankan karangan Febri Jaya, yang diterbitkan melalui Penerbit
Garudhawaca dengan ISBN : 978-602-7949-85-0.